Bimo Aria Fundrika
Pekerja melindungi tubuh dari terik matahari menggunakan payung saat berjalan di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (21/12/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Panas ekstrem kini menjadi krisis nyata di tempat kerja. Lebih dari 2,4 miliar pekerja – setara dengan 71% populasi pekerja dunia – setiap hari harus menghadapi risiko kesehatan serius akibat suhu yang melonjak.

Laporan gabungan terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan, situasi ini tidak lagi bisa dianggap sekadar ketidaknyamanan, melainkan darurat kesehatan global.

Paparan panas berlebih di tempat kerja meningkatkan ancaman penyakit serius seperti sengatan panas, dehidrasi kronis, hingga kerusakan ginjal. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan, setiap tahun lebih dari 22 juta kecelakaan kerja dan hampir 19 ribu kematian terkait langsung dengan tekanan panas.

“Kita menghadapi masa depan panas ekstrem. Ini kenyataan, pilihan kita hanya beradaptasi atau mati,” tegas Johan Stander dari WMO.

Pekerja melindungi tubuh dari terik matahari menggunakan payung saat berjalan di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (21/12/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Laporan tersebut juga menekankan bahwa tanggung jawab perlindungan tidak bisa dibebankan pada individu saja. Perusahaan, pemerintah lokal, hingga lembaga pendidikan wajib memastikan lingkungan kerja yang aman.

Sistem pendingin, jam kerja adaptif, hingga kebijakan perlindungan pekerja harus segera diterapkan, terutama bagi mereka yang bekerja di ruang terbuka atau fasilitas minim ventilasi.

Direktur WHO, Rüdiger Krech, untuk Lingkungan, Perubahan Iklim, dan Migrasi, menegaskan bahwa ancaman panas ekstrem kerap diremehkan.

“Seringkali dianggap sekadar cuaca panas yang harus ditoleransi. Padahal ini adalah krisis kesehatan yang nyata,” katanya.

Yang paling terdampak, lanjutnya, justru kelompok pekerja yang menjaga jalannya masyarakat sehari-hari – dari buruh konstruksi, pekerja lapangan, hingga tenaga kebersihan, yang sebagian besar berasal dari komunitas rentan dengan akses terbatas pada pendingin ruangan dan layanan medis.

Situasi semakin genting karena gelombang panas kini menjadi “normal baru” akibat perubahan iklim. Musim panas tahun ini, Eropa mencatat suhu di atas 40°C di sejumlah negara, termasuk Prancis, Portugal, Yunani, dan Spanyol. Lonjakan suhu tersebut memicu kebakaran hutan parah yang melanda kawasan selatan Eropa, memperburuk risiko bagi pekerja di lapangan.

WHO dan WMO menegaskan, perlindungan pekerja dari panas ekstrem harus menjadi prioritas kebijakan global. Tanpa langkah nyata, produktivitas ekonomi akan anjlok, jumlah korban jiwa meningkat, dan krisis kesehatan akibat perubahan iklim akan semakin tak terkendali.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti