Bimo Aria Fundrika
Global warming di Arktik, Kutub Utara. [Shutterstock]

Antartika, kawasan terdingin dan terujung di bumi, kian menghadapi tekanan berat akibat ulah manusia. Studi terbaru yang diterbitkan di Nature Sustainability memperingatkan bahwa meningkatnya pariwisata dan ekspansi pusat penelitian mempercepat pencairan es, sekaligus menambah beban bagi ekosistem yang rapuh akibat krisis iklim.

Dalam penelitian lintas negara, tim ilmuwan dari Chili, Jerman, dan Belanda menempuh perjalanan sejauh 2.000 kilometer selama empat tahun untuk memetakan tingkat pencemaran di Antartika.

Mereka menemukan logam berbahaya seperti nikel dan tembaga di kawasan padat aktivitas manusia, dengan kadar 10 kali lipat lebih tinggi dibanding 40 tahun lalu.

“Adanya interaksi antara manusia dengan Antartika menimbulkan kekhawatiran tentang risiko serius dari polusi berbasis bahan bakar fosil, mulai dari emisi kapal dan pesawat,” ungkap tim peneliti.

Ilustrasi pemanasan global (Pexels/Andrea Schettino)

Fenomena paling mencolok datang dari lonjakan wisata. Pada 1990-an, wisatawan ke Antartika hanya sekitar 8.000 orang per tahun. Kini, menurut data Asosiasi International Operator Tur Antartika (IAATO), jumlah itu melonjak drastis menjadi lebih dari 124.000 pada musim 2023–2024, dengan 80.000 di antaranya benar-benar menjejakkan kaki di daratan es tersebut. Proyeksi ke depan bahkan memperkirakan angka wisatawan bisa mencapai 450.000 pada 2034.

Meski IAATO memberlakukan aturan ketat seperti pembatasan pendaratan dan pemeriksaan biosekuriti, dampak tetap terasa. Satu perjalanan wisata rata-rata menghasilkan 5,44 ton emisi CO² per penumpang. Selain itu, mesin kapal dan pesawat melepaskan karbon hitam yang menempel di salju. Partikel ini membuat permukaan es kehilangan daya pantulnya, sehingga lebih banyak panas terserap dan laju pencairan meningkat.

“Di kawasan yang kerap jadi tujuan wisata, pencemaran dari partikel tersebut mempercepat laju pencairan salju,” kata Raul Cordero, peneliti Universitas Groningen.

Tekanan juga datang dari ekspedisi ilmiah. Kendaraan berat, kamp penelitian, dan infrastruktur yang dibangun untuk riset meninggalkan jejak polusi yang dampaknya bisa 10 kali lebih besar dibandingkan wisatawan.

Beberapa langkah telah ditempuh, seperti Perjanjian Antartika yang melarang penggunaan bahan bakar fosil, serta upaya operator wisata beralih ke kapal hibrida bertenaga listrik. Namun, para peneliti menekankan bahwa solusi tersebut belum cukup untuk menahan laju kerusakan.

Bagi pengunjung, bentangan es Antartika mungkin terlihat murni dan tak tersentuh. Namun, di balik pemandangan itu, jejak manusia kini tercetak jelas sebagai pemicu percepatan pencairan salah satu ekosistem paling penting di bumi.