Bimo Aria Fundrika
ilustrasi energi bersih (pexels/Singam)

Pemerintah Indonesia mulai menempatkan energi surya sebagai strategi penting untuk menurunkan emisi sekaligus memenuhi kebutuhan energi di tingkat nasional, daerah, hingga industri.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, PLN menargetkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mencapai 17,1 GW. Presiden Prabowo Subianto bahkan meluncurkan program 100 GW PLTS yang akan tersebar di desa-desa.

Namun, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), inisiatif ini hanya akan berhasil jika tantangan regulasi, pembiayaan, tata kelola, dan rantai pasok bisa diatasi.

“Energi surya adalah kunci transisi energi bersih. Dengan potensi lebih dari 7 TW, Indonesia punya peluang besar untuk melompat ke masa depan yang lebih hijau. Momentum ini jangan hanya dimanfaatkan industri besar; PLTS harus hadir juga di sekolah, pesantren, UMKM, hingga rumah tangga,” kata Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.

Momentum PLTS

Ilustrasi pemanfaatan energi surya untuk kehidupan manusia. (pixabay/fietzfotos)

Dalam lima tahun terakhir, PLTS di Indonesia mulai tumbuh. Regulasi khusus PLTS atap baru lahir pada 2018, namun cepat diadopsi terutama oleh sektor industri. Hingga Mei 2025, kapasitas terpasang PLTS nasional melampaui 1.000 MW (1 GW). Program PLTS atap di Jawa Tengah dan DKI Jakarta juga memperlihatkan tren positif, dengan ratusan rumah tangga, UMKM, hingga sekolah dan pesantren mulai memasangnya.

Di sisi industri, perusahaan besar memasang PLTS atap untuk menekan biaya sekaligus memenuhi tuntutan pasar ekspor yang semakin ketat terhadap energi bersih.

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, menyebut pemerintah sedang menyiapkan regulasi baru, termasuk revisi Peraturan Presiden No.112/2022 dan Permen ESDM tentang PLTS Operasi Paralel. Ia juga mendorong pemerintah daerah ikut aktif, mulai dari menyelaraskan tata ruang, mengalokasikan APBD, hingga memberi insentif untuk proyek energi terbarukan.

Sementara itu, Alvin Putra Sisdwinugraha, analis energi IESR, menekankan pentingnya transparansi data dan perizinan. “PLTS captive atau PLTS yang digunakan untuk sektor industri menjadi faktor yang meningkatkan daya saing industri Indonesia di pasar global,” ujarnya. Ia juga menyoroti peluang ekspor listrik 3,4 GW ke Singapura yang bisa memperkuat rantai pasok dalam negeri.

Rantai Pasok Masih Lemah

Indonesia sebenarnya mampu memproduksi modul surya hingga 11,7 GWp per tahun. Tetapi harga modul lokal masih 30–40 persen lebih mahal daripada impor. Alvin menilai perlu insentif seperti pembebasan bea masuk bahan baku agar produsen lokal bisa bersaing. “Untuk mendorong investasi pada rantai pasok, maka penting untuk memastikan adanya permintaan dalam negeri yang konsisten,” tegasnya.

Semua persoalan ini akan dibahas dalam Indonesia Solar Summit (ISS) 2025 bertajuk “Solarizing Indonesia: Powering Equity, Economy, and Climate Action” pada 11 September mendatang. Forum ini akan mempertemukan pemerintah, swasta, komunitas, hingga masyarakat untuk mencari solusi mempercepat integrasi energi surya.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti