Ratusan perempuan buruh gendong masih setia bekerja di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Setiap hari mereka datang sejak pagi untuk membantu pedagang maupun pembeli mengangkat barang belanjaan dengan upah yang tidak selalu pasti.
Salah satunya Isah (51), warga Salamrejo, Sentolo, Kulon Progo. Sejak 2010 ia memilih menjadi buruh gendong.
“Saya mulai kerja itu dari jam setengah sembilan pagi sampai jam empat sore. Berangkat dari rumah jam setengah lapan,” tuturnya.
Perjalanan dari rumah bukan hal yang ringan. Isah dan buruh gendong yang lain harus menempuh perjalanan jauh dengan bus langganan. Ongkos pulang-pergi mencapai Rp20 ribu per hari.
“Dari tempat saya itu, kan, sini banyaknya itu dari Kulonprogo. Kami itu dari dulu punya langganan bis. Jadi kalau sore diantar ke Kulonprogo, kalau pagi dijemput ke sini,” jelasnya
Punggung Perempuan, Pundak Keluarga
Beban yang mereka pikul bukan main.
“Yang paling berat itu lima puluh kilo, enam puluh. Sakitnya itu di pinggang, kaki, pegel-pegel itu sudah biasa,” ujar Isah.
Namun ia tetap menjalaninya dengan tekad penuh, karena hasilnya bisa membantu keluarga.
Hal yang sama dirasakan Gusimintan (50). Sudah 15 tahun ia menekuni profesi ini.
“Ya, pegel-pegel sama ngantri itu sering sakit. Tapi seneng, karena dapat uang. Sama teman-teman sering bergurau, jadi tiap hari tetap semangat,” ungkapnya.
Dampak Pandemi dan Sepinya Pasar
Sejak pandemi Covid-19, kondisi pasar semakin sepi. Jumlah pengunjung menurun, membuat kesempatan kerja ikut berkurang.
“Dari pas Covid itu sampai sekarang itu pasarnya masih belum pulih, masih sepi,” kata Isah.
Bagi buruh gendong, pasar adalah sumber kehidupan. Ketika pasar sepi, pendapatan mereka pun menurun drastis. Sutina (53), yang juga sudah lebih dari 15 tahun bekerja, mengaku kadang penghasilan sehari bahkan tidak cukup untuk kebutuhan dasar.
“Kalau enggak ada ya enggak dapat uang. Mungkin untuk makan sama ke kamar mandi aja kurang,” jelasnya.
YASANTI: Persaudaraan Jadi Kekuatan
Semua buruh gendong di bawah naungan Yasanti adalah perempuan. Mereka tergabung dalam paguyuban, difasilitasi oleh Yayasan Annisa Swasti atau disingkat Yasanti sejak 1980-an. Dari sana, mereka mendapat pelatihan public speaking, kesadaran gender, hingga advokasi.
“Kalau Yasanti itu cuma perempuan. Buruh gendong terbagi di empat pasar: Beringharjo, Kranggan, Gamping, sama Giwangan,” jelas Isah.
Bagi mereka, kekuatan utama bukan hanya otot, melainkan solidaritas. Kebersamaan membuat pekerjaan berat terasa lebih ringan.
“Buruh gendong itu enaknya, seneng karena sama teman-teman sering bergurau. Setiap hari sama teman-teman tuh seneng banget,” kata Gusimintan.
Bangga Jadi Buruh Gendong
Meski pekerjaannya kerap dipandang sederhana, buruh gendong justru bangga dengan profesinya. Isah bahkan pernah mewakili komunitas hingga ke luar negeri.
“Saya disuruh mewakili buruh gendong itu ke luar negeri. Ke Kamboja. Di sana sharing-sharing sama pekerja perempuan di sana,” tuturnya dengan bangga.
Kisah serupa datang dari Sutina (53), yang sudah lebih dari 15 tahun mengabdi di Beringharjo.
“Di rumah kan sulit, enggak ada kerjaan. Kita kerja untuk bayar sekolah, untuk bantu suami,” ujarnya.
Harapan yang Terus Hidup
Selain semangat, mereka juga membawa harapan besar: ingin diakui sebagai pekerja formal dengan perlindungan yang layak.
“Harapan kami itu, kami tuh buruh gendong itu masih memperjuangkan, kami itu diakui sebagai pekerja formal. Itu kan selama ini kami belum dapat perlindungan,” ucap Isah.
Buruh gendong bukan hanya pekerja pasar, tetapi juga penopang keluarga dan simbol kekuatan perempuan. Dari pundak merekalah, puluhan kilo beban di panggul setiap hari, namun semangat dan kebanggaan tetap mereka bawa.
Baca Juga
-
Dari Lumpur Pantai Baros: Mengubah Aksi Tanam Mangrove Jadi Seni dan Refleksi Diri
-
Lebih dari Sekadar Angkat Senjata, Ini Cara Bela Negara di Kehidupan Sehari-hari
-
Restitusi untuk Korban Tindak Pidana Masih Sulit Direalisasikan
-
Dirut ANTAM dari Eks Tim Mawar, Negara Tutup Mata soal Rekam Jejak HAM
-
Rp17 Miliar Terkumpul, Musisi Indonesia Peduli bagi Korban Bencana
Artikel Terkait
-
Jakarta Feminist Soroti Kasus Femisida 2024: Satu Perempuan Dibunuh Setiap Dua Hari di Indonesia!
-
Tubuh, Lingkungan, dan Hak Perempuan Jadi Sorotan Women's March Jakarta 2025
-
Kutukan Bahu Laweyan di Film 'Perempuan Pembawa Sial' Ternyata Pengalaman Pribadi Didik Nini Thowok
-
Film Horor Perempuan Pembawa Sial Resmi Menghantui Bioskop Seluruh Indonesia
-
Natasha Ardiani, Founder Perempuan yang Siap Bawa Fintech Indonesia Mendunia
Rona
-
Menyambut Natal Lebih Bijak, Ini Cara Merayakan secara Ramah Lingkungan
-
Bukan Tren Sesaat, Industri Hijau Kini Jadi Keharusan
-
Banjir Aceh: Bukan Sekadar Hujan, tapi Tragedi Ekologis Hutan yang Hilang
-
Kisah Akbar, Disabilitas Netra yang Berkelana di Ruang Sastra Tukar Akar
-
Warriors Cleanup Indonesia: Gerakan Anak Muda Ubah Kegelisahan Akan Lingkungan Jadi Aksi Nyata
Terkini
-
Perempuan Berambut Putih yang Tiap Malam Duduk di Atas Batu Nisan
-
4 Moisturizer dengan Kandungan Bisabolol yang Ramah untuk Kulit Sensitif
-
4 Ide Gaya Harian Minimalis ala Kim Mu Jun, Cocok Buat Pencinta Basic Look!
-
Bye Minyak dan Jerawat! 5 Facial Wash Pria Wajib Coba
-
Curi Perhatian di 'Taxi Driver 3', Ini 4 Film Korea Dibintangi Lee Je Hoon