Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Eko Saputra
Ilustrasi menulis (Pixabay.com)

Aku menemani senja yang kesepian bersama secangkir kopi,

aku memandangi kesedihan purnama bersama segelas teh panas,

aku membangunkan matahari dari tidur yang gelisah

aku menuntun awan-awan yang malas bergerak.

Entah mengapa,

sejak kepergianmu, aku merasa benda-benda di dunia menjadi murung,

itulah sebabnya tak kubiarkan mereka sendirian.


Selesai juga puisiku. Kutulis untuk menghibur dunia ini atas kepergianmu yang tiba-tiba itu. Aku tahu, alam raya pasti merindukan saat-saat mereka memandang kita berduaan di bangku taman, di teras rumah, di perpustakaan, dan di mana pun di bawah langit. Aku tahu, senja dan hujan sangat kesepian tanpa adanya dirimu yang senantiasa tersenyum itu. Aku tahu, kopi dan teh merasa kurang jika hanya ada satu tangan yang menggenggam cangkir mereka. Aku tahu, benda-benda langit kehilangan motivasi mengelilingi bumi karena tak lagi melihat dirimu berjalan-jalan denganku. 

Namun—seperti yang kita mengerti—setiap hidup akan berakhir. Itulah mengapa aku tak ingin menangisi kepergianmu,  tetapi seisi dunia tidak mengerti. Mereka merasa kau seharusnya hidup lebih lama lagi, menginginkan selalu ada di sisimu. Setiap malam kudengar mereka merintih dan memohon— entah kepada siapa—agar kau dihidupkan kembali. Sebagai satu-satunya yang waras, aku harus mengingatkan bahwa yang sudah tiada tak bisa menjadi ada. Karena itulah, aku menulis puisi untuk menghibur sekaligus menenangkan makhluk-makhluk itu. Besok pagi, akan kukirimkan puisi ini kepada matahari, kepada awan, kepada angin, dan kepada seluruh benda di bumi dan di langit. Sekarang, malam sudah larut, sebaiknya aku berangkat tidur.


***


Di dalam tidur, aku melihat kata-kata dalam puisi yang kutulis tadi bergerak dengan sendirinya. Kata-kata itu melayang di atas kertas. Berlari ke sana ke mari. Berhamburan ke sembarang arah. Mencerai-beraikan tubuhnya. Memenuhi seisi ruangan. Tak lama kemudian, kata-kata itu berkumpul kembali di atas kertasku. Satu kata bercengkerama dengan kata yang lain. Lalu, mereka seperti berdiskusi dan merencanakan sesuatu. Kata-kata itu seolah hidup—atau benar-benar hidup? Aku tak tahu. Yang aku tahu itu hanya terjadi di dalam tidurku.

Pagi pun tiba. Setelah mandi dan sarapan, aku datangi puisi yang kutulis semalam. Ia masih tergeletak di atas meja sana. Aku siap mengirimnya kepada dunia. Namun, tiba-tiba aku terperangah saat melihatnya. Aku merasa puisi yang kutulis semalam bukan seperti ini. Seperti ada yang sengaja mengutak-atik, tetapi aku tinggal sendiri dan aku yakin pintu dan jendela terkunci rapat. Siapa yang dengan lancang menyusup ke rumahku dan memorak-porandakan puisi megah ini? Seketika aku teringat mimpi tadi malam.

Apakah huruf bisa hidup? Apakah kata-kata itu merasa puisiku kurang bagus, sehingga mereka mengoreksi diri sendiri? Memang, tak dapat aku memungkiri, puisi yang kali ini lebih baik, lebih menawan, dan—yang paling penting—lebih jujur dari segalanya. Perlahan, kubaca puisi yang telah dituliskan kata-kata itu untukku:


Secangkir kopi bersama senja menemani aku yang kesepian, 

segelas teh panas bersama purnama memandangi kesedihanku, 

matahari membangunkanku dari tidur yang gelisah, 

awan-awan menuntunku yang  malas bergerak.

Entah mengapa,

sejak kepergianmu, benda-benda di dunia merasa aku menjadi murung,

itulah sebabnya tak mereka biarkan aku sendirian.

***


Pekanbaru, 2020

Eko Saputra