Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Eko Saputra
Ilustrasi awan mendung (Pixabay).

Dahulu kala, pada waktu yang tidak bisa ditentukan kapan, tidak pernah ada yang namanya musim hujan. Air tidak pernah turun dari langit. Awan tidak pernah mengeluarkan hujan. Sehingga makhluk bumi tidak pernah mengenal musim yang satu ini. Tahun-tahun mereka hanya dihiasi musim kemarau, musim semi, dan musim gugur.

Sampai suatu hari semua berubah. Hari itu —hari yang tidak bisa ditentukan kapan, awan sedang berselisih paham dengan salah satu benda langit— benda langit yang tidak diketahui apa namanya. Mereka bertengkar soal jatah siapa yang menghiasi langit. Keduanya tidak mau kalah. Awan ingin selalu ada di atas manusia. Begitu juga dengan benda langit tersebut. Mereka bertengkar sepanjang waktu.

Ketika gejolak amarah tidak tertahankan lagi, awan pun mengumpulkan segenap tenaganya dan mengalahkan benda langit itu. Maksud awan hanya ingin melumpuhkannya, tetapi takdir berkata lain. Benda langit itu meninggal. Ia pergi menuju keabadian.

Sekarang tinggal awan sendirian. Seharusnya ia gembira karena telah memenangkan pertempuran. Namun, ternyata ia sedih. Ia menyesal. Sekarang ia tak punya teman lagi. Awan pun menangis. Menangis sepanjang waktu. Sejak itulah makhluk bumi mengenal musim penghujan.

Bisa dikatakan sudah lima ratus tahun lamanya awan menangis. Bumi jadi kebanjiran. Sejak itu terciptalah genangan air yang besar. Sangat besar. Makhluk bumi menyebutnya sebagai sungai. Yang lebih besar lagi mereka sebut danau. Yang lebih luas lagi mereka panggil laut. Yang jauh lebih luas mereka katakan samudera.

Matahari yang sepanjang waktu menyaksikan kesedihan awan, akhirnya turun untuk menenangkannya. Matahari membujuk awan untuk tidak menangis lagi. Sebab, bisa-bisa seisi bumi menjelma air tanpa daratan. Bisa-bisa mereka jadi kehilangan bumi.

Awan pun akhirnya terdiam. Ia tidak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya. Akhirnya matahari dan awan sepakat untuk bergantian menciptakan musim di muka bumi. Ketika matahari sedang marah terciptalah musim kemarau, ketika awan lagi sedih, jadilah musim hujan. Sejak itu, sampai hari ini, kesepakatan mereka tidak pernah dilanggar.

Miliaran tahun sudah matahari dan awan akur. Tidak pernah ada perselisilan. Hingga suatu hari — hari di masa depan yang tidak bisa ditentukan kapan, terjadilah pertengkaran antaran matahari dan awan. Pertengkaran yang mulanya kecil, lama-lama menjadi besar. Mereka beradu mulut sepanjang waktu. Mereka sama-sama telah lupa soal kesepakatan yang mereka jalin di masa lalu.

Akhirnya matahari pun menang, ia berhasil mengusir awan dari jagat raya ini. Sejak itu, tak ada lagi yang namanya awan. Matahari bersinar garang sepanjang hari. Sepanjang hari sehingga bumi menjadi kemarau. Kemarau yang panjang. Hingga bumi kekeringan.

Hingga bumi tandus. Hingga bumi menjadi rapuh.

Akhirnya bumi pun hancur dalam serpihan-serpihan kecil yang tak bisa lagi dikenal sebagai bumi.

***

Eko Saputra