Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Rico Andreano Fahreza
ilustrasi demo (pixabay.com)

Berseru teriakan buruh saat mereka menjerit menuntut haknya. Hak demi mendapatkan kehidupan yang layak. Yang seharusnya dipenuhi kala buruh bersuara dengan lantang. Mereka seolah dipaksa menjadi mesin penghasil uang yang diperas habis-habisan oleh pengusaha. Yang diperlakukan bak budak. Sebuah ironi perbudakan masa modern. Tenaga mereka diperas sebanyak-banyaknya.

Buruh dipaksa bekerja keras dan semakin keras tiada henti. Buruh yang semakin terkapar raganya bekerja terus-menerus tanpa menikmati istirahat. Kehidupan yang sangat tak manusiawi bagi mereka. Peluh keringat yang bercucuran membasahi tubuh mereka. Yang semakin nelangsa melihat mereka bertahan hidup. Namun mereka tak pernah mendapatkan upah yang layak.

Bersatulah seantero negeri seluruh buruh berseru akan ketidakadilan dan penindasan yang mereka rasakan.  Melawan ulah pengusaha mereka yang bertindak laknat sewenang-wenang. Yang membuat pekikan dengan lantangnya kata lawan. Menghantam sekat-sekat antara buruh dan pengusaha. Pengusaha semakin pusing dibuat oleh perlawanan para buruh.

Pertalian antara pengusaha dan sang penguasa yang sangat erat menindas buruh seenak perutnya. Yang tertawa terbahak-bahak melihat tangis jeritan buruh. Namun nyali baja para buruh yang menjebol semua cengkeraman pengusaha yang bertautan satu jiwa dengan para birokrat beserta para kleptokrat.

Jalanan penuh lautan buruh yang menyuarakan sebuah perlawanan. Seakan membuat pengusaha tak bernyali dibuat oleh aksi buruh. Yang tak pernah mundur selangkah demi berjuang senasib dalam satu solidaritas.

Rico Andreano Fahreza