Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Mohammad Azharudin
Ilustrasi Kapal Tenggelam (Pexels.com/Nadine Biezmienova)

 Hilmi membuka tirai, menyapa mentari dan burung-burung yang tengah bernyanyi. Pagi itu ia jantungnya berdegup begitu kencang karena beberapa jam lagi ia akan menjalani sidang skripsi. Hilmi bergegas mandi, menyiapkan segala sesuatu, meminta doa restu, dan tak henti-hentinya berzikir agar hatinya bisa tenang.

“Semoga lancar ya, nak!”, ucap ibu Hilmi sambil memeluk.

“Amiin, buk!”.

Hilmi bergegas menuju kamar, memakai jas almamater, menunggu jam dimulainya sidang. Karena rektor kampusnya belum mengizinkan untuk melaksanakan kuliah tatap muka, akhirnya sidang skripsi dilaksanakan secara daring. Hilmi tak terlalu mempermasalahkan itu, baginya daring maupun luring sama saja. “Intinya aku harus mampu beradaptasi, tak peduli bagaimana pun keadaannya!”, begitu pikir Hilmi.

 Jam telah menunjukkan pukul 9, sudah saatnya sidang dimulai. Pembukaan, pemaparan skripsi, pengujian dari dosen-dosen, semua Hilmi lewati satu per satu. Ia berusaha tetap terkendali agar tidak terjadi hal yang tak diinginkannya. Hingga akhirnya Hilmi pun sampai di penghujung rangkaian acara sidang skripsi. 

Hilmi dinyatakan lulus dengan nilai yang bagus. Ia tentu sangat ceria mendengar itu. Dikabarkannya langsung kepada bapak dan ibunya, mereka semua menangis terharu dan saling merangkul. 

Sore harinya, ibu Hilmi menyuruh untuk membelikan bakso 4 bungkus. Syukuran kecil-kecilan di rumah ceritanya. Tanpa basa-basi Hilmi langsung berangkat ke warung bakso bersama adiknya.

Keluarga kecil itu menikmati bakso dalam suasana ceria. Namun, tidak dengan Hilmi. Ia merasa bahwa kini ia telah sampai pada fase kehidupan yang sebenarnya. Fase yang membuatnya ketakutan dan bimbang, akan seperti apa masa depan dirinya. Bagi Hilmi, lulus dengan nilai bagus saja tak menjamin masa depan yang cerah. Meski begitu, Hilmi menyembunyikan kegelisahannya tersebut supaya tak memecahkan suasana ceria hari itu. 

Esok harinya, Hilmi kembali dilanda kebimbangan, bahkan kini lebih besar. Hilmi malu ketika hendak mengambil sarapan. Sebab, ia merasa masih saja menjadi beban orang tua. Hilmi lantas mengambil sepeda motor, berniat mencari pekerjaan.

“Mau kemana, nak?”

“Ini buk, mau nyari kerja!”

“Nyari kerja di mana, nak?”

Hilmi sejenak terdiam, bingung mau menjawab apa. “Ke mana saja, buk! Asal nanti ada lowongan”.

“Oh, ya udah. Semoga cepet dapet ya, nak!”

“Iya, buk! Terima kasih doanya.”

Hilmi berangkat, tempat pertama yang ia tuju adalah pasar. Satu per satu toko dilihatnya, tak ada yang menawarkan lowongan pekerjaan. “Hufftt!! Mencari kerja di masa pandemi memang sulit banget”, gumam Hilmi dalam hati. 

Masih terlalu singkat untuk pulang. Hilmi kemudian memutuskan untuk pergi ke pelabuhan kecil di desanya. Barangkali di sana nanti ia dapat inspirasi, atau bahkan pekerjaan, semoga saja. Sesampainya di pelabuhan, Hilmi mencari tempat untuk berteduh, tempat yang sekiranya tidak akan ada orang yang ke sana ketika telah ia tempati.

Setelah ketemu, Hilmi terduduk merenung. Ia menatap hamparan laut yang luas, saat itu pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang membuatnya sangat ketakutan. Hilmi kemudian membuka HP-nya untuk sedikit mengusir ketakutannya. Euforia kelulusan teman-temannya masih membanjiri Whatsapp, Hilmi mengucapkan selamat satu per satu pada mereka. 

“Setelah lulus mereka mau kemana ya?”, tanya Hilmi dalam hati. Belum selesai dengan kebingungannya, Hilmi mendapat pesan yang mengejutkan dari Rani, pacarnya.

“Hil! Kamu sekarang kan udah lulus, kapan kamu akan melamarku?”, begitu isi pesan tersebut.

Mendapat pesan itu, Hilmi serasa membeku. Ia ingin meneteskan air mata atas semua ketakutan yang menimpanya. Sebagai laki-laki, Hilmi tak mungkin melamar pasangannya sebelum punya pekerjaan tetap terlebih dahulu.

“Doakan aku segera dapat pekerjaan tetap, ya! Agar aku bisa segera melamarmu”, tulis Hilmi dengan penuh harap.

“Mau sampai kapan kia seperti ini, Hil?. Aku udah capek menjalani hubungan tanpa ujung yang jelas! Kamu itu serius nggak sih sama aku?”, balas Rani.

Hilmi yang kala itu benar-benar ingin menangis, tak menjawab balasan pesan dari Rani tersebut. Ia sadar bahwa jika ia menjawab semua akan berujung pada pertengkaran yang menguras emosi. Hilmi pun menutup ponselnya, ia tak mau menyia-nyiakan waktu. Tak ada lagi waktu untuk memperdebatkan hal yang belum jelas. Hilmi merasa harus benar-benar fokus mencari pekerjaan. 

Tujuh hari berikutnya Hilmi masih juga belum mendapat pekerjaan. Tawaran pekerjaan pun tak berseliweran di HP-nya. Ia jengah dengan keadaan tersebut, ia benar-benar ingin keluar segera keluar darinya. Selepas mempertimbangkan banyak hal, Hilmi akhirnya memantapkan hati untuk merantau ke pulau seberang.

“Pak! Buk! Hilmi berniat untuk merantau”, ucap Hilmi di hadapan kedua orang tuanya.

“Lho, nak! Mau merantau kemana?”

“Ke Bali, buk.”

“Beneran kamu mau merantau ke sana?”

“Iya, pak! Hilmi sudah memantapkan hati.”

“Mau kerja apa di Bali?”

“Belum tahu, pak! Nanti Hilmi cari-cari di sana.”

“Lho, kamu ini gimana!? Mau merantau kok nggak ada persiapan sama sekali, bahkan persiapan informasi.”

“Iya, pak! Maaf. Tapi Hilmi sudah memantapkan hati untuk merantau. Jika terus-terusan seperti ini, Hilmi malah nggak akan berkembang.”

“Ya sudah, kalau emang gitu keinginan kamu. Jaga diri baik-baik!”

“Baik, pak! Doain Hilmi selalu!”

“Iya! Kita selalu doain supaya kamu dan adikmu selalu diberi kelancaran dalam menapaki kehidupan.”

“Makasih, pak! buk!”

Tiga hari setelah itu, tibalah waktu keberangkatan Hilmi. Orang tuanya tak bisa mengantarnya karena tak punya SIM, takut nanti kena razia polisi, malah repot ujung-ujungnya. Hilmi sendiri memang tak ingin merepotkan orang tuanya begitu jauh, ia lebih ingin untuk berangkat sendiri dari rumah. 

Hilmi naik bis untuk berangkat ke pelabuhan. Ia berpamitan dengan bapak, ibu, juga adiknya. Saling merangkul, setelah itu berangkat. Perjalanan sampai ke pelabuhan kira-kira membutuhkan waktu 1 jam. Sebelum naik kapal, Hilmi membuka HP-nya sejenak. Ia lantas membalas pesan Rani kala itu.

“Ran! Aku mau berangkat merantau ke Bali. Maaf kemarin belum bisa balas pesan kamu, aku cuma ingin sejenak fokus mempersiapkan keberangkatanku. Kamu hati-hati, ya! Aku berharap kamu mau doain aku supaya cepet diberi pekerjaan dan bisa segera melamar kamu, amiin!”.

Hilmi sudah tahu bagaimana respons Rani setelah itu. Rani tidak akan peduli dengan keberangktannya, Rani pasti akan marah-marah karena pesannya cukup lama nggak dibalas. Dan benar, saat notifikasi balasan dari Rani muncul, isinya seperti apa yang dibayangkan Hilmi.

Hilmi tak mau jauh-jauh menanggapi, ia sudah bertarung cukup keras dengan kesedihan hari ini. Hilmi ingin menghemat energi supaya nanti tak terlalu kelelahan mencari tempat penginapan di tanah rantau. Hilmi kembali menutup ponselnya.

Jangkar telah dilepas, kapal mulai meninggalkan dermaga. Hilmi membayangkan kenangan-kenangan indah bersama keluarganya. Kini ia harus sejenak berpisah dengan mereka. Hilmi begitu sedih, tapi ia menahan air matanya.

Saat Hilmi hendak membuka bekal yang dibuatkan ibunya, tiba-tiba alarm kapal berbunyi keras. Semua orang panik, kapal tak lagi berada di posisinya semula. Terlampau cepat kapal tiba-tiba sudah hampir terbalik. Tak banyak yang bisa dilakukan, satu per satu penumpang dan kru kapal mulai jatuh ke lautan. Hingga akhirnya tibalah giliran Hilmi yang didekap oleh laut. Ia pasrah, dan di detik-detik terakhir itu Hilmi akhirnya meneteskan air mata. Ia tenggelam dengan terus meminta maaf; kepada bapak dan ibunya, kepada adiknya, kepada Rani, dan kepada dirinya sendiri.

Mohammad Azharudin