Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Ina Barina
Ilustrasi Pohon dan Daun Gugur (Pixabay)

Dedaunan itu mulai mengering,

Meronta, meminta kebebasan

Ia ingin terbang, menyatukan diri alum alunan angin.

Ia terus saja berteriak kepadaku,

Terus saja memohon, agar aku bisa melepasnya dengan bebas

Katanya, ini sudah saatnya

Aku haruslah menyadarinya, bahwa sesuatu yang selama ini aku tahan, bukan lagi milikku.

Ia masih saja terus menyentakku,

Melontarkan kalimat-kalimat tajam, namun pedih

Menyadarkanku, bahwa aku telah tak mampu lagi menjaga pohon jinggaku.

Tapi tentu saja, aku tidaklah semudah itu untuk lunak

Aku masih saja keras, bertahan dalam kebodohanku

Selalu meneriakkan kembali padanya, bahwa aku tidak bisa

Aku tidak bisa melihat pohon jingga yang selalu aku jaga,

Mati tak berdaun, kering terlapuk cuaca.

Aku sama sekali tidak peduli atas detik arloji yang terus saja menggema,

Bisikan rembulan yang terus saja menyiarkan kebosanan pohon jinggaku,

Bahkan rintik hujan yang berusaha keras untuk membangunkan logikaku,

Tapi rasanya, logikaku telah mati.

Ya, belenggu pohon jinggaku telah mampu membuatku hampir gila,

Mati-matian mempertahankannya ditengah kemelut badai.

Hai, sayang.

Bukankah, dulu kita berjanji untuk bersama?

Iya, bersama.

Katamu, kita akan terus berdua

Memeluk dan menjaga pohon jingga ini, merawatnya dengan segala kehangatan yang kita punya.

Namun, sepertinya engkau telah melupakan janji manismu itu

Engkau telah begitu lepas, tak peduli lagi dengan pohon kita yang hampir tumbang

Tak peduli guguran daun yang hendak melayang pergi,

Tak peduli kita yang telah ada di ujung jalan.

Aku yang ada di ujung tombak.

Perasaan yang telah hilang.

Ina Barina