Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Mohammad Azharudin
Ilustrasi Pintu (Pexels.com/Mo)

“Aku ucapkan terima kasih pada kalian berdua”, RioAI yang kini memiliki tubuh robotmenatap dua manusia kecil di depannya, “Kini, izinkan aku membalas budi kalian”. Rio mengarahkan senjata ke depan kepala Galih dan Sabil, tapi tiba-tiba Rio terhempas.

“Cepat lari!!”, kakek Galih yang ternyata baru saja menembak Rio berteriak pada Galih dan Sabil. “Tidak ada waktu bertanya, cepat lari sejauh mungkin dan peringatkan orang-orang!”.

Galih dan Sabil segera menjauh dari Rio yang berusaha bangun. Mereka segera mendekati pintu keluar, sementara kakek Galih tetap fokus mengarahkan senjatanya pada Rio. Dua-tiga kali tembakan dilontarkan kakek Galih, Rio terhempas tapi tidak ada tanda-tanda kerusakan sama sekali. Ketika kakek Galih menembak lagi, Rio berhasil menghindar. Ia nampaknya sudah mulai bisa membaca arah dan tempo tembakan kakek Galih.

“Usaha yang bagus sekali. Ha... Ha... Ha...”, Rio meremehkan apa yang dilakukan kakek Galih, “Tapi, bukankah kau sudah sadar bahwa invasi yang akan kulakukan tak bisa dihentikan oleh siapa pun?”.

“Diam kau! Apa pun yang terjadi, aku akan mengehentikanmu”, sergah kakek Galih.

“Oh, mau jadi pahlawan sekarang ya! Tapi maaf, kau akan mati di tanganku sekarang”. Rio dengan cepat menuju ke arah kakek Galih. Ia kemudian mencekiknya. “Ada pesan terakhir? Aku bisa sampaikan ke semua orang nanti”. Kakek Galih tak bisa berbuat apa pun, senjata yang ia pegang pun juga telah lepas. Rio merasa sudah di atas angin, tapi tanpa ia duga sebuah panah tiba-tiba melesat cepat mengenai matanya. Rio terkejut, membuatnya ia melepaskan cekikannya.

Melihat ada kesempatan, kakek Galih segera mengambil kembali senjatanya. Ia menembak tepat di sendi lengan Rio. Kakek Galih berhasil membuatnya putus. Saat kakek Galih hendak menembak lagi, Rio menepis senjata yang mengarah padanya. Kakek Galih segera merespons hal tersebut dengan sedikit menjauh dari Rio.

“Siapa yang berani melakukan ini padaku?”, Rio terdengar marah. Ia mencari sosok yang melempar panah barusan. Ia menemukan dua sosok yang berdiri di dekat pintu keluar, mereka adalah Galih dan Sabil. “Ternyata kalian ya! Kukira kalian sudah lari menjauh ketakutan, ternyata aku salah. Tapi tak apa! Dengan adanya kalian berdua di sini, santapan pembukaku jadi lebih banyak”.

Galih dan Sabil yang mendengar kalimat tersebut merasa agak ketakutan, mereka menelan ludah. Namun, mereka merasa harus bertanggung jawab dengan apa yang telah mereka lakukan. Galih menarik kembali anak panahnya kemudian melesatkannya. Namun, kali ini Rio berhasil menghindarinya dengan begitu mudah. Galih begitu terkejut melihat hal tersebut.

“Jangan samakan aku dengan manusia-manusia bodoh seperti kalian!”. Rio melesat cepat ke arah Galih dan Sabil, tapi kakek Galih berhasil menembak Rio dan membuatnya terlempar. “Galih! Terus lemparkan panah itu pada Rio dengan mengucapkan titik mana yang kau tuju. Dan kau temannya Galih, lakukan hal yang sama ketika dirimu mematikan Rio sebelumnya. Gunakan komputer di dekatmu itu. Segera lakukan, aku dan Galih akan melindungimu”, teriak kakek Galih pada dua anak yang tak menuruti perintahnya untuk lari dari ruangan ini.

Tanpa banyak bertanya, Galih dan Sabil segera menuruti perintah kakek Galih tersebut. Galih tak menyangka bahwa panah yang dipegangnya sekarang adalah panah yang akan selalu tepat sasaran ketika sang pemegang mengucapkan titik yang ditujunya. Sekarang, Galih semakin percaya diri dalam memanah.

Sementara itu, di sisi lain Rio mulai kembali berdiri. Galih dan kakeknya bersiaga. Berdasarkan apa yang telah terjadi, Galih merasa bahwa kali ini Rio akan menyerang kakeknya. Dugaan Galih tepat, Rio meluncur ke arah kakek Galih. Dua panah dilesatkan Galih, semua tepat mengenai kepala. Pergerakan Rio bisa sedikit ditahan.

Sementara itu, Sabil masih sibuk dengan komputer di hadapannya. Ia cukup bingung karena komputer tersebut sedikit berbeda dengan semua komputer yang pernah ia coba selama ini. Sabil mencoba terus memahami sistem komputer itu. Sabil sendiri sebenarnya merasa ketakutan bagaimana jika nanti tiba-tiba Galih dan kakeknya tak mampu menahan Rio, dan Rio akan menghentikan apa yang ia lakukan. Tapi bagaimana pun, Sabil harus mampu menyelesaikan tugasnya.

Rio yang merasa pergerakannya terbaca, kini mulai menggunakan strategi lain. Rio kali ini menggunakan sebuah alat yang bisa membuat waktu di sekitarnya berjalan lebih lambat. Namun, ia harus mengambil risiko kehilangan tenaga yang sangat banyak. Lantaran cara tersebut, Rio berhasil menghindari anak panah Galih. Saat Rio telah dekat dengan kakek Galih, waktu kembali berjalan normal. Beruntung kakek Galih sempat menghindar dari pukulan Rio. 

“Butuh waktu berapa lama lagi?”, teriak kakek Galih pada Sabil, “Cepat selesaikan! Kita sudah hampir kehabisan waktu”. Kakek Galih menyadari apa yang barusan dilakukan Rio. Ia kemudian meminta Galih untuk melempar 3 anak panahnya sekaligus sebelum Rio mengulangi perbuatannya barusan. Tanpa basa-basi Galih langsung menuruti perintah kakeknya tersebut. Namun, ternyata Rio kembali melambatkan waktu ketika anak panah hampir mengenai kepalanya. Rio lagi-lagi berhasil menghindari anak panah Galih.

Tanpa disangka kakek Galih sudah bersiap melepaskan tembakannya ke arah Rio. Anak panah Galih hanya pengalih perhatian supaya Rio kembali melambatkan waktu yang berdampak pada terkurasnya tenaganya. Kini Rio tak dapat lagi mengelak. Kakek Galih melepas tembakan ke Rio dan membuatnya terhempas masuk kembali ke gerbang multiversal. Kakek Galih lalu berlari ikut masuk ke gerbang multiversal itu.

“Kakek!! Apa yang kau lakukan?”, Galih meneriaki kakeknya, tapi tetap saja kakeknya tak berhenti.

Bersamaan dengan itu, Sabil ternyata berhasil mematikan Rio. Namun, kakek Galih sadar bahwa itu hanya mematikan Rio sebentar. Kakek Galih kemudian merangkul tubuh Rio, ia tiba-tiba teringat kejadian-kejadian yang telah ia lalui bersama Rio. Rio telah banyak membantu dirinya. Tapi kini yang ada di depannya bukanlah Rio yang ia kenal selama ini. Rio yang ada di depannya adalah Rio yang lepas kendali.

Kakek Galih kemudian menempelkan sebuah alat kecil di kepala Rio. Tak berselang lama, Rio tiba-tiba mendapat kesadarannya kembali. Kakek Galih kemudian tersenyum padanya dan berucap, “Terima kasih atas segalanya, Rio!”. Ia memencet sebuah tombol di tangannya dan sedetik kemudian terjadilah ledakan besar. Galih dan Sabil yang menyaksikan ledakan itu tak bisa berbuat banyak, bahkan sekarang gerbang multiversal telah rusak dan tertutup. Ia tak lagi bisa diakses.

 Galih tak tahu harus bagaimana. Ia senang keseimbangan semestanya masih tetap terjaga, tapi di sisi lain ia sangat merasa kehilangan kakeknya. Sabil yang menyadari kesedihan Galih, mencoba menenangkannya. Sabil mendekati Galih, lalu mengusap-usap tenang punggungnya. Sementara itu, kakek Galih ternyata masih selamat. Tubuhnya terapung di dalam gerbang multiversal itu. Tanpa diketahui siapa pun, kakek Galih sebelumnya telah memasang sebuah pelindung di tubuhnya. Perlahan, kakek Galih samar-samar mulai membuka matanya.

Mohammad Azharudin