Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Eko Saputra
Ilustrasi berita buruk (Pixabay).

Daun-daun gugur, dahan-dahan patah, pohon-pohon tumbang, akar-akar terbang. Angin bertiup kencang sembarang arah. Debu bertaburan, berserakan di udara. Plang-plang nama toko miring. Kaca-kaca mobil pecah, bertebaran di tanah yang basah. Hujan menderas seperti ditumpahkan begitu saja dari atas. Awan-awan hitam. Burung-burung linglung. Hewan peliharaan panik. Gedung-gedung roboh. Menimpa rumah-rumah mungil, warung-warung makan, dan area parkir sepeda motor.

Kemudian entah dari mana, datang api membumbung. Orang-orang berlari tak karuan, mencari perlindungan. Hujan lebat tadi seketika hilang. Baru sekali ini air tunduk pada api. Semua yang basah dalam sekejap menjadi kering. Semua yang kering menjadi panas. Kayu-kayu pohon berubah abu. Bangunan yang berserak tinggal arang.

Orang-orang berlari tak tentu arah. Sebagian ikut termakan api, sebagian lagi berupaya bertahan hidup. Sebagian pasrah dan berdoa. Sedangkan aku terjepit di antara bebatuan bekas runtuhan gedung tadi. Lima belas meter jaraknya dari lautan api itu. Sebentar lagi mereka akan sampai di sini dan melahapku dengan ganas.  

Percuma berteriak minta tolong, setiap orang butuh pertolongan juga. Saat-saat seperti ini, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan siapa pun dari kematian. Namun keajaiban tidak dapat menimpa siapa saja. Hanya orang-orang terpilih yang bisa merasakan keajaiban.

Aku berharap termasuk di antara orang-orang terpilih itu. Sehingga aku bisa keluar dari bencana maha dahsyat ini. Setidaknya aku dapat menulis berita buruk di surat kabar tempatku bekerja. Barangkali dengan begitu, aku dipromosikan naik jabatan. Barangkali.

Akan tetapi, khayalan tadi sirna ketika yang ada hanya kakiku yang mulai dijilati panas. Dalam hati aku berdoa. Tapi Tuhan pun mungkin juga sedang sibuk menyelamatkan yang lain. Sehingga aku hanya dapat melihat pemandangan memilukan ketika tubuhku perlahan-lahan lenyap. Sampai di detik terakhir yang ku tahu hanya kobaran api yang membinasakan. Setelah itu entah.

***

Lalu hanya ketika alarm berbunyi keras aku tersadar bahwa tadi cuma mimpi. Ah, leganya mendapati tubuhku masih utuh dan sempurna sebagaimana adanya. Tak ada bekas luka bakar. Tak kurang satu pun. Sejenak aku menenangkan diri dan hanya sanggup bersyukur atas nikmat tak terkira ini.  

Namun, dalam diriku tumbuh sebuah ide. Aku tidak mungkin membiarkan peristiwa dalam mimpi tadi berlalu begitu saja. Aku pernah membaca kabar bahwa dahulu ada seorang wartawan yang bermimpi terjadi sebuah bencana besar di suatu tempat di muka bumi ini.

Lalu ketika bangun ia menuliskan isi mimpi itu, kemudian pulang ke rumah. Ketika teman kerjanya datang pagi-pagi dan melihat tulisan itu, dia mengira itu adalah berita terbaru, lalu ia menerbitkannya. Dunia pun jadi gempar, sebab dalam kenyataannya bencana itu memang terjadi pada suatu masa kemudian. 

Aku pun melakukan hal tersebut. Kubuka laptop dan mulai mengerjakannya. Aku tulis persis seperti apa yang kudapatkan dalam mimpi itu. Setelah selesai, aku segera mandi, sarapan, dan siap-siap ke kantor. Bisakah mimpiku itu jadi kenyataan juga? Berapa tahun lagi akan benar datangnya? Aku tidak tahu, yang aku tahu aku sungguh bergairah pagi ini.

Sungguh bersemangat. Setidaknya sampai pintu rumahku terbuka. Setelah itu semua perasaan kembali seperti sediakala. Bertambah bingung. Bertambah aneh. Halaman rumahku berubah seketika. Sejak kapan pohon mangga itu hilang? Di mana pagar besiku? Di mana rumah tetanggaku? Di mana kedai kopi tempat biasanya aku nongkrong? Di mana jalan raya? Di mana gedung tinggi di kejauhan itu? Di mana mereka semua? Semua hilang.

Hilang. Yang ada hanya hamparan tanah luas yang di atasnya tertidur abu-abu hitam tebal dengan tenang. Semua lenyap. Lenyap. Yang tersisa hanya rumahku yang berdiri kokoh dan sebatang tubuhku yang utuh. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Satu yang pasti; ternyata mimpi bisa jadi kenyataan dalam waktu yang begitu singkat. 

***

Eko Saputra