Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi seseorang dengan cahaya hidupnya yang meredup. (pixabay.com)

Tanda cahya mengurai misteri ujung keberadaan raga tak ada jawabannya. Cahya bergaung menyinari cakrawala batin membawa dalam dimensi waktu yang sangat berbeda. Berbeda berjuta-juta kali gerakannya yang amat cepat. Perlahan meraih gelap gulita bergulat dalam imaji ketakutan.

Desah ketakutan menghujat rupa-rupa ragaku. Merendah amat hina dalam kebusukan sejati. Hanya sebuah kemuliaan yang semu bertebaran seuntai kerancuan. Gerakan yang mengarahkan diri sendiri menjalin nestapa kehidupan. Birahi kegalauan nurani yang sangat hampa.

Zarah kesesatan mengawali remah-remah loba semua tahta. Tahta yang berujung pada dunia tak pernah puas diraih. Lawatan kemurahan jiwa amat lacur rupanya. Lacur berurai genangan durjana lihai adanya. Naungan kenikmatan yang semu melenyapkan segenap luaran sanubari.

Permai dunia tercerabut dalam imaji seakan memeluk aroma fatamorgana. Ceruk kesaktian pelihara salah dan dosa. Wasiat layu diri sendiri bertautan pada bias kehancuran hidup. Ujung langkah terpetik semua hamparan di muka bumi. Berharap cemas dalam getir rasa andai bisa merangkul hidup kembali.

Sebiji dosa melingkupi isi sanubari yang menyanyikan jeritan-jeritan agung tak pernah habis. Menghantarkan cahya yang seakan mustahil bisa menyala menerangi jiwa yang sangat hampa. Rasa-rasa getir selalu dilalui bergayung siraman kesesatan. Penuh harap-harap cemas gelap gulita dunia.

Firasat sebuah akhir keberadaan raga membawa beban dosa amat agung. Illahi mendera raga dalam ancaman laknat tersemat pada tautan sanubari. Sakit rasa dalam sanubari bergetar dera Illahi.

Rico Andreano Fahreza