Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Queeny Mutia Faadiyah Kalsum
Ilustrasi Perilaku Victim Blaming (Pixabay.com/geralt)

Saat ini begitu banyak kasus pelecehan seksual yang sedang beredar di internet. Berdasarkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 menyebutkan kekerasan seskual meliputi pelecehan verbal, tindakan pemaksaan, hingga ancaman yang terjadi apabila korban menolak melakukan permintaan pelaku. Pelecehan sesksual sangat erat kaitannya dengan budaya victim blaming yang sangat langgeng di Indonesia, bahkan di berbagai negara.

Salah satu sarana atau tempat penyebaran berita yang sangat cepat adalah media sosial. Lewat media sosial siapa saja dapat dengan cepat menyebarkan suatu kejadian. Di setiap berita atau informasi yang dimuat pada media sosial, tentu saja tidak lepas dari komentar para penggunanya atau yang biasa disebut dengan netizen.

Terdapat beberapa perbedaan dari netizen dalam menanggapi berita pelecehan seksual yang terjadi. Banyak yang memberikan semangat dan dukungan pada korban, tetapi tidak sedikit pula yang mencoba mempertanyakan korban atau bahkan berusaha menyalahkan korban. Fenomena menyalahkan korban inilah yang biasa disebut sebagai victim blaming. Tentu saja sebuah kondisi yang harus dan seharusnya tidak pernah ada pada kehidupan korban atau penyintas pelecehan seksual.

Sebab hak para korban adalah mendapatkan keadilan dan perlindungan penuh baik secara fisik maupun mental, bukan dijadikan sebagai korban berkali-kali. Lantas, apa sebenarnya victim blaming?

Apa itu Victim Blaming?

Ilustrasi pelecehan seksual di kampus. [Suara.com/Rochmat]

Apakah kamu pernah melihat komentar seperti,

 “Pakaianmu saat itu seperti apa?” 

“Siapa suruh kamu keluar malam-malam?” 

“Kenapa baru lapor sekarang? Kemarin-kemarin kemana saja” 

“Tapi kamu menikmati juga kan?” dan komentar lainnya yang serupa.

Komentar-komentar di atas disebut sebagai victim blaming yaitu perilaku menyalahkan korban. Pelaku victim blaming juga menganggap bahwa terjadinya tindakan pelecehan seksual tersebut akibat dari tingkah laku korban. Alih-alih menyudutkan pelaku pelecehan seksual, banyak masyarakat yang masih sibuk menyalahkan korban.

Menurut Condry (dalam Campbell & Raja, 1999), para korban memang tidak menerima hukuman atau tindak pidana tetapi harus merasakan trauma ulang yang ia dapat dari komentar maupun tanggapan masyarakat atas tindakan keji yang diterima korban. Bahkan tak jarang playing victim ini turut dilayangkan oleh pihak-pihak yang seharusnya punya andil krusial dalam penyelesaikan kasus hingga perlindungan korban untuk mendapatkan keadilan. Miris, bukan?

Berikut beberapa bentuk dari perilaku victim blaming menurut Restikawasti (2019), di antaranya tidak ada simpati maupun empati terhadap korban pelecehan seksual saat para korban mecoba menceritakan kejadian yang dialaminya. Kemudian, para pelaku victim blaming sering memandang rendah korban pelecehan seksual.

Mereka, para pelaku playing victim menganggap bahwa pelecehan seksual terjadi akibat tubuh dan cara berpakaian korban yang dapat mengundang pelaku pelecehan seksual melakukan aksinya. Seringkali pada kasus pelecehan seksual, masyarakat menyalahkan cara korban bergaul dengan lawan jenis dan cara korban menggunakan media sosial.

Padahal, kita semua tahu bahwa rasa nafsu dapat dikendalikan secara penuh oleh manusia itu sendiri dan pemerkosaan memerkosa tubuh bukan pakaian. Apabila para korban dipaksa untuk menutup pakaiannya, lalu para pelaku harus menutup apa? Sudah seharusnya kita sadar dan berhenti berkecimpung pada lingkaran yang hanya memperpanjang barisan pembodohan serta kebrutalan. Korban berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan secara penuh tanpa alasan apa pun!

Dampak dari Victim Blaming

ilustrasi kekerasan seksual. (suarajogja.id/EmaRohimah)

Menjadi korban pelecehan seksual saja sudah menimbulkan trauma bagi para korban, ditambah dengan komentar atau bahkan tindakan yang seharusnya tidak diberikan kepada korban. Sulit untuk membayangkan bagaimana kondisi para korban pelecehan seksual yang mendapat victim blaming, korban seringkali disalahkan sekaligus dianggap sebagai penyebab terjadinya tindak kejahatan pelecehan seksual oleh masyarakat sehingga sulit untuk mendapatkan keadilan. 

Lalu bagaimana dampak yang dirasakan para korban?

1. Korban menjadi takut untuk melaporkan kejadian yang menimpanya

Khawatir dengan stigma negatif yang akan diterimanya apabila korban melaporkan kasus pelecehan seksual terjadi padanya. Korban akan merasa bahwa tidak akann ada orang yang mendukung dan membelanya dalam mencari keadilan. Pada akhirnya, korban akan menyimpan sendiri penderitaan yang ia alami

2. Korban menganggap kejadian tersebut aib baginya

Seringnya korban direndahkan dan disalahkan atas kasus pelecehan seksual yang terjadi, membuat korban menjadi malu dan beranggapan bahwa itu semua adalah aib bagi dirinya. Korban tidak akan berani menceritakan kejadian yang menimpanya karena masyarakat hanya akan menganggap bahwa itu adalah aib korban yang tidak perlu diumbar.

3. Trauma 

Pelecehan seksual sangat berdampak pada kondisi psikologis korban. Kedepannya korban bisa saja mengalami trauma yang dapat menganggu aktivitasnya. Seperti mudah cemas, kehilangan rasa percaya pada oranglain, serangan panik, menyalahkan diri sendiri, dan lainnya.

4. Depresi hingga bunuh diri

Karena tidak berani melaporkan kejadian yang menimpanya, korban akan memendamnya sendiri yang akan menyebabkan depresi hingga bunuh diri. Seolah-olah lengkap sudah penderitaan yang dialaminya, menjadi korban tetapi disalahkan dan direndahkan, dianggap penyebab terjadinya peristiwa keji tersebut.

Apa yang harus dilakukan?

Ilustrasi pelecehan seksual (Suara.com/EmaRohimah)

Perlu di ketahui bahwa menjadi korban pelecehan seksual bukanlah suatu kesalahan maupun suatu aib. Begitu banyak dampak psikologis yang dialami korban, maka korban haruslah mendapatkan keadilan atas kejadian buruk yang menimpanya.

Sebagai masyarakat, kita harus dapat mendukung, menyemangati, dan melindungi korban pelecehan seksual yang sudah berani menyuarakan kejahatan pelaku. Sebab, menyuarakan hal tersebut tidak mudah dan membutuhkan mental yang kuat untuk melalukannya. Oleh karena itu, kita harus menghindari perilaku victim blaming atau kebiasaan menyalahkan korban dan mulailah peduli serta menaruh perhatian pada kondisi korban.

Referensi:

Campbell, R., & Raja, S. (1999). Secondary Victimization of Rape Victims: Insights From Mental Health Professionals Who Treat Survivors of Violence. Violence and victims.

Ihsani, S. N. (2021). Kekerasan Berbasis Gender dalam Victim-Blaming pada Kasus Pelecehan yang Dipublikasi Media Online. Jurnal Wanita dan Keluarga, 2(1), 12–21. https://doi.org/10.22146/jwk.2239

Restikawasti, A. E. (2019). ALASAN PEREMPUAN MELAKUKAN VICTIM BLAMING PADA KORBAN PELECEHAN SEKSUAL. 4(1), 11.

ShoSpoiasnieit, B. S. (2021). Sosietas Jurnal Pendidikan Sosiologi. 2, 16.

Wulandari, E. P., & Krisnani, H. (2021). KECENDERUNGAN MENYALAHKAN KORBAN (VICTIM-BLAMING) DALAM KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI DAMPAK KEKELIRUAN ATRIBUSI. Share: Social Work Journal, 10(2), 187. https://doi.org/10.24198/share.v10i2.31408

World Health Organization & Pan American Health Organization. (‎2012)‎. Understanding and addressing violence against women : intimate partner violence. World Health Organization. https://apps.who.int/iris/handle/10665/77432

Queeny Mutia Faadiyah Kalsum

Baca Juga