Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buya Hamka (DocPribadi/Samedy)

Buku berjudul “Dunia Batin Buya Hamka” (kisah dan catatan-catatan dari Balik Penjara) yang disusun oleh Muhammad Ghanoe dan diterbitkan oleh penerbit Araskan pada 2020 ini berupaya merekam kembali suka-duka kehidupan Buya Hamka, salah satu sosok pemikir Islam di masa lalu.

Sebagaimana diungkap penulis dalam kata pengantar buku ini, Buya Hamka merupakan satu di antara pemikir-pemikir modern muslim. Dengan karya yang sedemikian banyaknya, beliau turut mempertebal jejak-jejak keilmuan selama ini.

Meskipun dengan karya-karyanya tersebut, Buya Syafii Maarif masih belum mau mengikutkan Hamka dalam daftar pemikir-pemikir modern muslim yang telah mencoba dan melakukan dekonstruksi terhadap berbagai aspek pemikiran abad pertengahan. Menurut Syafii, Hamka masih termasuk pemikir muslim yang kurang bersikap kritikal terhadap khazanah pemikiran klasik. Begitu pula dengan Mohammad Natsir dan juga Muhammaad Rasyid Ridha dari Suria.

Hamka memang menampakkan dirinya sebagai pemikir modern muslim pada zamannya. Tidak sedikit dari karya-karyanya yang tampak sengaja dibatasi sendiri untuk menjawab suatu permasalahan dan kebutuhan faktual.

Kontekstualisasi pemikirannya pun tidak jarang yang hanya dibatasinya untuk mencerdasi sesuatu yang berada dalam bauran masa-masa tertentu. Seolah aspek-aspek pemikiran di abad pertengahan tersebut hanya ingin ditampakkannya sebagai media pencarian dan penemuan jawaban yang khusus disajikan untuk aktualitas momen-momen tertentu dan pengulangan efek suatu kenangan (halaman 4).

Sebenarnya, Hamka merupakan nama pena. Muhammad Ghanoe menjelaskan bahwa nama lengkap Hamka adalah Abdul Malik. Lahir pada hari Senin, 17 Februari 1908, di wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dari pasangan Abdul Karim Amrullah dan Sitti Shafiah.

Seiring perkembangan masa, nama Abdul Karim Amrullah mendapat tambahan dua gelar di depan namanya hingga menjadi Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Sedangkan Abdul Malik mengubah namanya menjadi Abdul Malik Karim Amrullah. Setelah berangkat haji (1927), nama itu bertambah kata “Haji” di depannya. Jadilah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Sejak menggawangi majalah Pedoman Masyarakat, nama itu disingkat menjadi HAMKA sebagai nama penanya.

Sebelum menikah dengan Sitti Shafiah, Abdul Karim pernah menikah dengan Raihana dan dikaruniai anak perempuan bernama Fatimah. Setelah Raihana meninggal, Abdul Karim menikah lagi dengan Sitti Shafiah dan kemudian memiliki anak bernama Abdul Malik (Hamka). Sebagai dai, Abdul Karim (yang dikenal juga dengan sebutan Haji Rasul) ini terbiasa membagi hari-harinya dengan keluarga dan umat. Tak jarang ia berada di luar daerah hingga berhari-hari untuk kepentingan dakwah islamiah.

Karenanya, tak heran bila sejak kecil, Abdul Malik telah terbiasa menjalani hari-hari dengan ibu dan neneknya. Bahkan setelah Haji Rasul kian sibuk berdakwah di Padang Panjang, Malik kian jarang bersama sang ayah. Ketika kesibukan itu kian meningkat dan mengharuskan Haji Rasul menetap di Padang Panjang, Malik sudah belajar merelakan ayah dan ibunya untuk tidak menemaninya meski hanya sementara. Malik memilih hidup bersama nenek di Maninjau. Di sana ia mempelajari alam Minangkabau melalui pantun-pantun yang diajarkan oleh nenek (halaman 53-54).

Kisah Buya Hamka dalam buku ini masih sangat panjang dan berliku. Saya yakin, kisah suka-dukanya mulai dari masa kecil hingga wafatnya mampu mengaduk-aduk emosi para pembaca. Terlebih saat ia pernah memiliki niat bunuh diri tapi berhasil digagalkannya sewaktu ia berstatus sebagai seorang tahanan.  

****Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.

Sam Edy Yuswanto