Film animasi Merah Putih: One For All hadir dengan misi mulia: menggugah semangat nasionalisme jelang HUT RI ke-80 pada 17 Agustus 2025. Disutradarai oleh Endiarto dan Bintang Takari, diproduksi oleh Perfiki Kreasindo, film ini berdurasi 70 menit dan mengusung tema petualangan anak-anak demi menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih yang hilang.
Tapi, meski niatnya bagus, eksekusinya malah bikin aku dan penonton bingung: ini film apa tugas sekolah yang buru-buru dikejar deadline? Yuk, ulas bareng apa yang bikin film ini jadi bahan obrolan panas di media sosial, dari sisi cerita, visual, hingga kontroversinya.
Sinopsisnya sebenarnya punya potensi. Film ini mengisahkan delapan anak dari berbagai latar budaya—Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan Tionghoa—yang tergabung dalam "Tim Merah Putih".
Mereka ditugasin menjaga bendera pusaka yang selalu dikibarkan setiap 17 Agustus. Tapi, tiba-tiba bendera itu hilang tiga hari sebelum upacara. Misi heroik pun dimulai: anak-anak ini harus nyusurin hutan, sungai, dan badai, sambil ngatasin perbedaan budaya dan ego masing-masing demi ngibarin bendera di Hari Kemerdekaan.
Keren, 'kan, idenya? Sayangnya, eksekusi ceritanya bikin dahi berkerut. Alurnya terasa datar, seperti slide presentasi yang cuma digeser-geser tanpa greget. Dialognya kaku, penuh kalimat klise yang bikin cringe, seperti nguping drama radio era 80-an yang dipaksain kekinian.
Logika cerita juga bikin geleng-geleng. Misalnya, anak-anak ini lewat pasar, tapi entah kenapa nggak kepikiran buat beli bendera baru, padahal bendera Merah Putih pasti ada di mana-mana menjelang 17-an.
Kalaupun bendera itu pusaka sakral, film ini gagal memberikan penekanan kenapa bendera itu spesial banget sampai anak-anak harus rela nyemplung lumpur dan nembus badai. Akibatnya, pesan nasionalisme yang seharusnya jadi jualan utama malah terasa tempelan, bukan napas cerita.
Ulasan Film Merah Putih: One For All
Dari sisi visual, Merah Putih: One For All bikin aku pengin tutup mata. Animasi karakternya kaku, ekspresi wajah kayak patung lilin, dan gerakan kameranya ngawur.
Transisi antaradegan? Mirip slide PowerPoint yang lupa dikasih efek fade. Menurutku sih kualitas grafisnya yang terasa seperti animasi game jadul atau tugas sekolah, bukan film bioskop yang katanya makan budget Rp6,7 miliar.
Kontroversi visual makin panas karena dugaan penggunaan aset animasi murah dari platform seperti Daz3D, bahkan karakter 3D yang diduga dipakai tanpa izin dari animator asal Pakistan, Junaid Miran.
Adegan jalanan yang katanya pakai aset “Street of Mumbai” bikin aku nanya: ini film Indonesia apa India? Belum lagi keanehan seperti burung kakatua bersuara monyet atau senjata AK-47 nongol di gudang balai desa—entah buat apa. Visualnya bikin aku susah nyaman, meski mungkin anak-anak SD atau SMP masih bisa nikmatin tanpa banyak tuntutan.
Soal audio, film ini nggak kalah bikin geleng-geleng. Efek suaranya minim, mixing audionya berantakan, dan dubbing karakternya datar, seperti orang baca naskah sambil nunggu ojek.
Musik bertema nasionalisme sih ada, tapi nggak cukup kuat buat ngangkat emosi penonton yang di bioskop. Malah, banyak adegan yang bising dengan efek suara ala video YouTube gratisan, bikin kuping capek. Padahal, audio bioskop seharusnya bisa bikin momen epik terasa megah, tapi di film ini justru bikin aku pengin kabur.
Film ini jadi sorotan bukan cuma karena kualitas, tapi juga soal budget. Katanya sih Rp6,7 miliar, tapi produser Toto Soegriwo dan sutradara Endiarto bantah angka itu dan bilang film ini dibuat dengan “biaya terima kasih”.
Tapi, kalau beneran miliaran, ke mana duitnya? Netizen curiga ini proyek “cuci anggaran” karena kualitasnya jauh di bawah standar, apalagi dibandingkan film animasi lokal seperti Jumbo yang bikin bangga. Proses produksi yang cuma sebulan juga bikin orang nanya: ini serius apa kejar tayang doang?
Ditambah lagi, judul “One For All” yang pakai bahasa Inggris bikin aku sendiri ngerasa aneh untuk film bertema nasionalisme. Kontroversi ini sampai bikin beberapa bioskop, seperti Cinépolis, batal nayangin film ini, meski di XXI dan Sam’s Studios masih tayang terbatas.
Merah Putih: One For All punya niat mulia buat ngajarin nasionalisme dan persatuan, tapi sayangnya gagal bikin aku terpukau. Cerita yang lelet, visual kaku, audio berantakan, dan kontroversi produksi bikin film ini lebih cocok jadi pelajaran apa yang nggak boleh dilakukan dalam bikin animasi.
Buat anak-anak, mungkin masih lumayan buat ngisi libur 17-an. Tapi buat penonton dewasa yang ngarepin kualitas, film ini bikin lebih banyak mengeluh daripada bangga. Kalau mau nonton, turunin ekspektasi dulu dan siapin mental buat ketawa-ketawa kecut. Rating dari aku? 4/10, murni karena niatnya yang patriotik.
Baca Juga
-
Ulasan Film Panggilan dari Kubur: Ketika Cinta Ibu Jadi Teror Mengerikan!
-
Ulasan Film La Tahzan: Ketika Cinta Berubah Jadi Dosa dan Luka!
-
Ulasan Film Tinggal Meninggal: Sindiran Kocak untuk Hidup Modern!
-
Review Film Nobody 2: Sekuel Aksi yang Lebih Gila dari Film Pertama!
-
Merdeka dengan Sepeda: Mengayuh untuk Bumi yang Lebih Hijau
Artikel Terkait
-
Viral Siswa MAN 1 Padang Robek Bendera Merah Putih, Ternyata Ujian Pramuka yang Berujung Gagal Paham
-
Aksi Heroik Siswa SD di Nagan Raya Aceh Panjat Tiang Bendera Demi Merah Putih Tetap Berkibar
-
Ulasan Buku Angin dari Tebing, Kisah Manis dan Heroik di Desa Padang Rumput
-
Alasan Raffi Ahmad Tetap Dukung Film Kartun Merah Putih One For All: Saya Belum Nonton!
-
5 Fakta Viral Bendera Merah Putih Terbalik di Mamasa, Paskibraka Menangis hingga Panitia Minta Maaf!
Ulasan
-
Ulasan Film Panggilan dari Kubur: Ketika Cinta Ibu Jadi Teror Mengerikan!
-
Novel Love Unmasked: Ketika Ekstrovert Meluluhkan Hati Seorang Introvert
-
Ulasan Novel On The Road: Kisah Dua Pemuda Melintasi Negara Amerika Serikat
-
Ulasan Novel The Gladiator: Mematahkan Kutukan Ribuan Tahun
-
Ulasan Film La Tahzan: Ketika Cinta Berubah Jadi Dosa dan Luka!
Terkini
-
Kapur Sirih Bisa Atasi Jerawat? Ini Penjelasan Lengkapnya
-
Hujan Badai, NCT Dream Gebrak Stadion Rajamangala Bangkok di Konser Terbaru
-
Futsal dan Masa Depan, Ketika Formasi Futsal Menjadi Seni
-
BRI Super League: Persib Bandung Bawa Kekuatan Penuh, Siap Tantang Persijap Jepara?
-
Sederhana tapi Berdampak: Euforia Kemerdekaan dengan Peduli Lingkungan