Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurillah A.
Multatuli (DocPribadi/nurillah)

Salah satu tokoh tiga serangkai yang selalu dikenalkan semenjak sekolah dasar adalah Douwes Dekker. Selain berjuang bersama Dr. Cipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara melalui Indische Partij, melalui nama pena Multatuli, Douwes Dekker menerbitkan sebuah buku, menguak tindakan korup yang terjadi di Hindia Belanda.

Apabila dilihat secara seksama, buku yang diberi judul Max Havelaar ini cukup mengecoh pembaca. Pasalnya, di awal bab, penulis tidak secara langsung membeberkan pengalamannya di Hindia Belanda. Melainkan menceritakan pertemuan seorang makelar kopi yang bernama Droogstoppel, dengan teman lama yang pernah menyelamatkannya semasa sekolah, yaitu Sjalmaan. 

Meski di awal pertemuan Droogstoppel enggan menerbitkan berkas-berkas tulisan Sjalmaan, makelar kopi yang memiliki pengamatan hipokrit dan kerap melontarkan ucapan yang masuk akal ini akhirnya menyetujui penerbitan buku, baik yang ditulis sendiri oleh Sjalmaan ataupun dokumen-dokumen lainnya.

Naskah Sjalmaan tersebut kemudian ditulis oleh Stern yang menceritakan kedatangan seorang asisten Residen Lebak yang bernama Max Havelaar. Singkat cerita, dalam menjalankan pemerintahannya, Max Havelaar acapkali melihat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Bupati Lebak yang dibiarkan oleh Residen Banten saat itu.

Ternak-ternak yang dimiliki warga seringkali diambil paksa oleh Bupati Lebak. Salah satunya dikisahkan melalui tokoh Saidjah. Anak laki-laki yang kehilangan kerbau yang telah menjadi sahabatnya. “Ayah Saidjah punya kerbau untuk membajak sawah. Ketika kerbau ini dirampas darinya oleh pejabat distrik di Parang Kujang, dia merasa sangat sedih dan tidak mengucapkan sepatah kata pun selama berhari-hari". (Halaman 366)

Menariknya, kejadian korupsi dan nepotisme yang menyeret keluarga gubernur Banten beberapa waktu lalu, ternyata telah terjadi semenjak zaman kolonial. Entah memang sebuah tradisi yang memang sengaja diturunkan turun temurun layaknya tradisi keluarga kerajaan atau bukan, nyatanya, Multatuli mengisahkan korupsi dan nepotisme di Karesidenan Lebak dengan perisitiwa pencurian ternak milik orang-orang pribumi.

“Nah, jika seseorang memilih untuk percaya bahwa kerbau yang dicuri jumlahnya lebih sedikit di daerah-daerah yang kebetulan tidak dipimpin oleh menantu laki-laki Bupati, sepertinya itu benar; walaupun masih ada pertanyaan apakah ketamakan para pejabat memang terkait dengan hubungan keluarga yang kuat” (Halaman 344)

Kejadian ini dibiarkan begitu saja oleh Residen Banten. Bahkan, di dalam laporannya kepada Gubernur Hindia Belanda, selalu memberikan laporan yang tidak sesuai dengan keadaan orang-orang yang sebenarnya.

Akhirnya, banyak penduduk yang melaporkan tindakan para penguasa kepada Max Havelaar. Saat Asisten Residen Lebak ini melaporkan keluhan masyarakat kepada Residen Banten dan meminta untuk memecat Bupati Lebak, justru Havelaar diberhentikan dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

Barulah di akhir bab, Multatuli sendiri muncul dengan mengakui bahwa bentuk buku Max Havelaar ini sangatlah berantakan. Serta campur aduk. Akan tetapi,  gagasan dan cerita kesewenang-wenangan yang ada adalah nyata. 

Sistem tanam paksa dan kerja paksa adalah kenyataan yang terjadi pada zaman kolonial. Tindakan korupsi yang dilakukan pejabat pribumi pun turut menyertakan kenyataan pahit di zaman kolonial.

Pada akhirnya, terlepas bagaimana sudut pandang dalam penulisan buku ini, baik karena runtutan tulisan yang terbilang agak campur baur ataupun karena ditulis oleh orang Belanda, nyata-nyata Multatuli atau Douwes Dekker adalah seorang pejuang yang turut memperjuangkan kemaslahatan rakyat Indonesia saat itu.

Tak ayal, seorang Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa buku yang pertama kali terbit pada tahun 1860 ini, merupakan ‘kisah yang membunuh kolonialisme’. Bagaimana tidak, di saat orang-orang Belanda berbuat semena-mena bersama pejabat pribumi, justru Douwes Dekker menerbitkan pengalamannya selama 18 tahun di Hindia Belanda. 

Dengan gaya bahasa sedemikian rupa, ia menceritakan kekejaman sistem tanam paksa. Sebuah sistem yang membelah derajat manusia. Di satu sisi, ribuan penduduk pribumi mati kelaparan, miskin dan menderita. Sedangkan di sisi lain, kolonial Belanda dan pejabat pribumi sibuk memperkaya diri.

Nyatanya, tindakan korup pejabat yang ada saat ini merupakan warisan yang diturunkan di zaman kolonial. Sungguh mengenaskan, para pejabat yang korup justru menerima peninggalan yang tidak bermoral. 

Pantaslah tampang koruptor selalu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah wartawan saat mengenakan pakaian tahanan. Sebab mereka tak ubahnya penjajah yang menjajah rakyat dan negeri sendiri. Seperti Bupati Lebak yang dikisahkan oleh Multatuli.

Nurillah A.