Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buku 'Hisablah Dirimu Sebelum Dihisab kelak' (Doc/Samedy)

Introspeksi diri merupakan hal yang tak bisa dianggap remeh. Tujuan introspeksi diri adalah agar bisa melihat dan mengoreksi kembali, hal-hal apa saja yang sudah kita perbuat selama ini. Apakah dalam kehidupan sehari-hari, waktu yang kita miliki dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang sia-sia atau sebaliknya; lebih banyak diwarnai aktivitas atau ibadah yang mendulang pahala? Tentu yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah diri kita sendiri.

Islam mengajarkan kepada kita untuk bermuhasabah. Arti muhasabah sebenarnya sama dengan introspeksi yang memiliki keutamaan dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Alhafiz Kurniawan dalam NU Online (29/12/2020), muhasabah atau introspeksi memiliki keutamaan tersendiri dalam Islam. Muhasabah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai introspeksi atau mawas diri, yaitu peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri. 

Mukhamad Yusuf dalam buku Hisablah Dirimu Sebelum Dihisab Kelak (Safirah, 2014) menjelaskan, menghisab diri atau muhasabah menjadi kebiasaan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Beliau yang dikenal ma’shum (dijaga dari dosa) tetap meminta ampunan kepada Allah Swt. dengan beristighfar lebih dari 100 kali setiap hari. Beliau bersabda, “Orang yang bertaubat dari dosa, ibarat orang yang tidak punya dosa sama sekali,” (HR. Ibnu Majah). 

Bicara tentang taubat, kita mengenal istilah taubat nasuha. Mukhamad Yusuf dalam buku Hisablah Dirimu Sebelum Dihisab Kelak menjelaskan, tentu taubat yang dimaksud di sini bukanlah ‘taubat sambal’, taubat yang hadir ketika menyadari dosa, kemudian mengulanginya kembali. Taubat yang menggembirakan Allah Swt. adalah taubat nasuha. Ulama menjelaskan, taubat nasuha adalah taubat yang sebenar-benarnya, yakni taubat yang didasari keinginan kuat dalam hati untuk tidak kembali melakukan dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya.

Setidaknya, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar taubat kita dapat disebut sebagai taubat nasuha yang diterima Allah Swt, sebagaimana keterangan dalam Koridor Renungan A. Mustofa Bisri (Kompas Media Nusantara, 2010). Ketiga syarat tersebut yakni:  

Pertama, ikhlas bertaubat hanya karena Allah Swt., mengakui perbuatan dosa yang telah dilakukan di hadapan-Nya. Kedua, menyesali dosa yang telah dilakukan dan mempunyai tekad kuat dalam hati untuk tidak lagi mengulangi dosa tersebut. Ketiga, kalau perbuatan dosa tersebut berkaitan dengan hak orang lain maka harus mengembalikan hak itu kepada yang berhak (Hisablah Dirimu Sebelum Dihisab Kelak, halaman 49). 

Terbitnya buku Hisablah Dirimu Sebelum Dihisab Kelak ini dapat dijadikan sebagai sarana buat para pembaca untuk selalu melakukan introspeksi diri setiap hari. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.

Sam Edy Yuswanto