Kestabilan politik memang menjadi sebuah kunci dari tenteram atau bergolaknya sebuah negara. Tentu, sudah banyak yang kita ketahui, berbagai negara pada akhirnya mengalami kehancuran ketika mereka tak memiliki kestabilan dalam bidang politik. Pasalnya, jika kondisi dunia perpolitikan tidak stabil, maka bisa dipastikan akan merembet ke bidang-bidang yang lain.
Hal tersebut sejatinya juga pernah terjadi di Indonesia. Medio tahun 1960-an menjadi salah satu fase perjalanan sejarah Indonesia dengan pergolakan politik terberat yang melanda negeri ini. Dampaknya? Selain dirasakan di bidang pemerintahan, juga dirasakan oleh para mahasiswa cerdas yang kala itu tengah dikirim oleh negara untuk menuntut ilmu ke luar negeri.
Seperti yang diangkat dalam film berjudul Surat dari Praha yang dirilis pada tahun 2016 lalu, gejolak politik yang terjadi di dalam negeri, merembet hingga mereka yang berada di luar negeri. Karena adanya permasalahan politik dan juga pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, banyak mahasiswa potensial Indonesia yang pada akhirnya tidak bisa pulang ke negeri ini.
Seperti yang dialami oleh Jaya, mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk bersekolah ke Eropa Timur pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pada akhirnya ia harus menetap di negara yang semula hanya akan dijadikan sebagai tempatnya menuntut ilmu. Dalam film ini, kita bisa melihat betapa sedihnya Jaya, ketika terpaksa harus merelakan dirinya harus menghabiskan sisa waktunya di negeri yang sejatinya masih asing dalam kultur dan budaya. Bahkan, Jaya harus merasakan kesendirian yang begitu mendalam, meskipun sejatinya dirinya hidup di negara yang secara kualitas kehidupan masih berada di atas Indonesia yang menjadi tanah kelahirannya.
Sebuah hal yang sejatinya tak pernah dibayangkan oleh Jaya, ataupun mahasiswa-mahasiswa lain yang memiliki potensi untuk memajukan Indonesia. Namun, memang demikianlah kejamnya politik dan kekuasaan. Bidang-bidang lain yang tak bersinggungan pun turut menjadi korban.
Dalam film berjudul Surat dari Praha ini, saya lebih memilih untuk menyoroti kehidupan orang-orang tersisih seperti yang dialami oleh Jaya. Rasa rindunya kepada negeri ini tak pernah padam. Bahkan, untuk sekadar kembali untuk menjenguk keluarganya pun tak bisa karena bertahun-tahun namanya masuk dalam daftar cekal. Maka tak heran, jika kini banyak putra-putra terbaik bangsa ini yang memilih untuk berkarir diluar negeri, karena ancaman ketidakstabilan politik dalam negeri yang sewaktu-waktu bisa meletup, dapat mengancam kehidupan dan masa depan mereka.
Baca Juga
-
Semifinal Piala AFF U-23: The Young Azkals dalam Kepungan para Raja Asia Tenggara!
-
Meski Tampil Apik di Timnas U-23, Jens Raven Masih Belum Sepenuhnya Siap Gantikan Oleh Romeny
-
Kemarahan Hokky Caraka dan Pentingnya para Suporter Indonesia Berpikiran Waras
-
Gelaran Piala AFF U-23 dan Sejarah Baru bagi The Young Azkals yang Sudah di Depan Mata
-
Semifinal Piala AFF U-23 dan Pertemuan Timnas Indonesia dengan Lawan Terfavorit di Turnamen
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Novel Solito: Kisah Anak Kecil yang Berjuang Menyeberangi Perbatasan
-
Mengupas Novel The Siren: Sudut Pandang Penulis dan Editor
-
Ulasan City of Ash and Red, Novel Thriller Psikologis yang Menyesakkan
-
Ulasan Novel Lemonade Granny: Misteri Gelap di Balik Desa Para Lansia
-
Review Film Dont Lets Go to the Dogs Tonight: Hidup di Tengah Peperangan
Terkini
-
Awalnya Bukan dari Brazil! Ini Asal-usul Futsal yang Mengejutkan
-
Futsal: Tak Sekadar Olahraga, Tapi juga Penyambung Kenangan Gen Milenial
-
AXIS Nation Cup: Membakar Semangat Futsal, Melahirkan Bintang Masa Depan
-
Posisi di Futsal, Saat Semua Punya Peluang untuk Unjuk Gigi di Lapangan
-
Ditargetkan Rilis Tahun Depan, Syuting Film Evil Dead Burn Resmi Dimulai