Selalu menarik ketika menyimak kembali pemikiran-pemikiran almarhum KH. Abdurrahman Wahid, atau akrab dipanggil Gus Dur. Beliau memang telah tiada, tetapi ide, gagasan, atau pemikirannya yang banyak memberikan kemaslahatan masih terus dikaji hingga saat ini.
Gus Dur dikenal sebagai sosok pembela kaum minoritas. Dalam buku “Bapak Tionghoa Indonesia” karya MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF ini dijelaskan, perjuangan Gus Dur adalah tokoh avant-garde dalam memperjuangkan hak-hak kaum minoritas di Indonesia. pembelaannya telah mendapatkan pengakuan dari masyarakat nasional dan dunia internasional. Gus Dur telah berkali-kali mendapatkan penghargaan sebagai pembela rakyat kecil yang marjinal dan tertindas.
Perjuangan Gus Dur yang bersifat beyond symbols pada dasarnya bersumber dari pemikiran keislamannya yang universal dan toleran. Nilai-nilai universal dan toleran dalam Islam bagi Gus Dur adalah muatan dari ajaran Islam yang mengedepankan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keterbukaan. Yakni, suatu keterbukaan yang membuat kaum muslim mampu menyerap berbagai nilai budaya dan wawasan keilmuan yang beragam dari berbagai peradaban yang saling bersinggungan, sebagai akibat dari semakin meluasnya pergaulan dunia (halaman 3-4).
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang peduli dengan pendidikan dan kemiskinan. Diuraikan dalam buku ini, perjuangan Gus Dur secara lebih nyata dalam bidang pendidikan dan kemiskinan diwujudkannya melalui lembaga NU dengan program modernisasi pendidikan pesantren. Gus Dur terus menerus menekankan pentingnya pendidikan bidang agama dan bidang umum secara seimbang serta perlunya pendidikan pesantren melengkapi diri dengan lembaga-lembaga pelatihan keterampilan sehingga lulusan pesantren memiliki bekal menjalani kehidupan di masyarakat. Dengan demikian, pendidikan pesantren dapat berperan aktif dalam sistem pembangunan nasional dengan lebih baik (lebih lanjut dapat dilihat dalam Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi).
Gus Dur, juga termasuk sosok yang sangat menghargai perbedaan dak keberagaman. Pergaulan beliau sangat luas dan memiliki toleransi yang sangat tinggi. Dalam buku ini dijelaskan, perjuangan dan pergaulan Gus Dur yang luwes dan beyond symbols, termasuk dengan kalangan Tionghoa telah dimulai secara aktif sejak era 1970-an, yaitu sejak Gus Dur pindah ke Jakarta setelah malang-melintang di luar negeri.
Baca Juga
-
Buku Perjalanan ke Langit: Nasihat tentang Pentingnya Mengingat Kematian
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Tuhan Selalu Ada Bersama Kita dalam Buku "You Are Not Alone"
-
Ulasan Buku Setengah Jalan, Koleksi Esai Komedi untuk Para Calon Komika
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Three Days to Remember: Tentang Hati yang Mau Menerima Kembali
-
Sosok Orang Tua Titiek Puspa, Benarkah Ada Keturunan Tionghoa?
-
Ulasan Buku Resep Kaya ala Orang Cina, Cara Menuju Kekayaan yang Berlimpah
-
Ulasan Buku "The Wisdom", Merenungi Kebijaksanaan Hidup
-
Ulasan Novel Aroma Karsa: Ambisi Mencari Kejayaan Lewat Teka-teki Wewangian
Ulasan
-
Ulasan Novel Monster Minister: Romansa di Kementerian yang Tak Berujung
-
Ulasan Novel The Confidante Plot: Diantara Manipulasi dan Ketulusan
-
Review Film Drop: Dinner Romantis Berujung Teror Notifikasi Maut
-
Pengepungan di Bukit Duri: Potret Luka Sosial di Balik Layar Sinema
-
Review Anime Bofuri, Main Game VRMMORPG yang Jauh dari Kata Serius
Terkini
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Miliki 2 Modal Besar untuk Permalukan Arab Saudi
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Lebih Siap untuk Menjadi Juara Dibandingkan Tim Tuan Rumah!
-
Media Asing Sebut Timnas Indonesia U-17 akan Tambah Pemain Diaspora Baru, Benarkah?
-
Taemin Buka Suara Soal Rumor Kencan dengan Noze, Minta Fans Tetap Percaya
-
Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku