Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Dian Haerani
Buku they both die at the end (instagram/adamsilvera)

Sebuah cerita fiksi yang dengan membaca lembar pertamanya saja sudah membuat kagum sekaligus penasaran. Buku ini mengisahkan tentang dua orang remaja laki-laki yang mendapat telfon pemberitahuan dari Death-Cast (lembaga pemberi peringatan bahwa seseorang akan segera menemui ajalnya).

Remaja laki-laki pertama itu bernama Mateo Torrez. Mateo dikejutkan dengan panggilan seseorang dari Death-Cast yang memberitahu bahwa ia akan meninggal dalam waktu dua puluh empat jam lagi. Remaja yang baru berusia delapan belas tahun itu tentu menyesali panggilan yang baru saja ia dapatkan. Mateo belum merasa melakukan banyak hal dalam hidupnya. Masih banyak yang ingin ia lakukan dalam hidup. Mateo bahkan belum memiliki surat izin mengemudi.

Orang yang sudah mendapat panggilan dari Death-Cast disebut sebagai Decker. Mateo menemukan sebuah aplikasi bernama Last Friend yang bisa menghubungkannya dengan para Decker lain di negaranya. Orang yang ia kira cocok untuk berteman dengannya bernama Rufus. Remaja laki-laki lain berusia 17 tahun yang juga akan mati dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Mateo menemui Rufus. Mereka berteman dekat hanya karena beberapa obrolan dan memutuskan untuk menghidupi hari terakhir mereka dengan melakukan banyak hal bersama-sama. Dalam waktu dua puluh empat jam yang sebelumnya sangatlah singkat, ketika bersama Rufus, harinya terasa menjadi lebih panjang dan menyenangkan. Sampai Mateo rasanya sudah mengalami semua yang ingin ia alami dalam hidupnya. Bersama Rufus.

Mateo tak menyesali Rufus yang menjadi teman terakhirnya sebelum menghadap kematian. Begitu juga dengan Rufus, ia bersyukur karena bertemu Mateo di ujung usianya.

Dalam buku ini, kisah yang panjang, berliku, dan agak memacu adrenalin benar-benar tertulis dengan apik. Tapi konyolnya, kisah yang diceritakan sepanjang itu, ternyata adalah kisah Mateo dan Rufus yang sebenarnya hanya dua puluh empat jam.

Kita jadi bisa mengambil pelajaran dari buku ini. Bukankah waktu dua puluh empat jam bisa dihidupi dengan benar-benar hidup kalau kita tahu kita akan segera mati? Lantas kenapa tidak berpura-pura akan mati besok untuk terus menghidupi hari ini?

Dian Haerani