Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurkalina Pratiwi Suganda
Raden Adjeng Kartini (Wikipedia)

Beberapa waktu yang lalu, lini masa media sosial mulai dipenuhi konten-konten yang berkaitan dengan kebaya. Mulai dari ajakan menggunakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari, rekomendasi kebaya untuk wisuda, sampai ke konten kritis yang membahas sejarah dan peran kebaya. Nilai positif dari konten-konten tersebut membantu menyebarkan kesadaran bahwa, "Ini, lho, hari besar pakaian nasional kita."

Tidak asing lagi kalau kebaya dibahas sebagai warisan budaya Indonesia yang secara turun-temurun membawa nilai-nilai luhur perempuan Indonesia. Sebagai rakyat yang setia pada negara tercinta, tentu saja kita harus turut melestarikan budaya. Pelestarian budaya ini tidak terbatas pada "menggunakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari" saja, tetapi juga menyebarluaskan makna serta mengajak rakyat lainnya.

Salah satu pelestarian kebaya yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan adalah munculnya kebaya modern, yang juga bersaing dengan fast fashion. Kebaya modern, seperti sebutannya, tetap membawa ciri khas kebaya yang sejak dahulu dipertahankan dan dilestarikan, hanya saja bahan dan modelnya mengikuti perkembangan dunia mode.

Akan tetapi, dari rentetan fakta tersebut, ada satu hal yang beririsan, yaitu kebaya masih dianggap sebagai simbol perempuan anggun nan lemah lembut. Perspektif ini tidak sepenuhnya salah, tetapi saya rasa masih ada sedikit bumbu-bumbu pandangan konservatif di dalamnya.

Menilik Sejarah Kebaya

Dahulu sekali, kebaya tidak hanya digunakan oleh perempuan pribumi, tetapi juga oleh perempuan Belanda dan peranakan Belanda yang tinggal di pulau Jawa. Hal ini juga yang menyebabkan kebaya dianggap sebagai penanda perbedaan kelas dan sosial. Antara perempuan pribumi, khususnya priayi dengan rakyat biasa, perbedaannya dilihat dari bahan dasar tekstil untuk kebaya serta kain untuk bawahannya. Sementara itu, antara perempuan pribumi dan perempuan Belanda, perbedaannya dilihat dari model kebaya.

Penanda perbedaan kelas dan sosial pada saat itu sangat mengotak-kotakkan ras masyarakat, padahal berpakaian adalah salah satu simbol kebebasan ekspresi dan identitas. Meskipun saat ini kebaya sudah dikenal sampai taraf internasional, ternyata perjuangan untuk menggapainya pun tidak main-main.

Laiknya makhluk hidup, kebaya memiliki jiwa dan identitas sendiri. Sudah lama sekali kebaya identik dengan kesederhanaan. Walaupun zaman terus maju dan dunia mode terus berkembang, kesederhanaan dalam kebaya merupakan hal pakem yang tidak bisa diubah-ubah seenaknya. Meskipun demikian, simbol perempuan anggun nan lemah lembut masih melekat pada kebaya, dari dahulu sampai sekarang.

Pasti ada saja satu-dua tulisan yang membuka dialektika dengan kalimat: "Kebaya menyimbolkan kelembutan ...."

Nyatanya, sebelum zaman kemerdekaan, kebaya dianggap sebagai simbol antikolonial dan kebebasan. Jika dipatok sebagai simbol keanggunan dan lemah lembut, lantas di mana letak kebebasannya?

Sampai Saat Ini, Kebaya Masih Terbelenggu Feminitas Toksik

Saya melihatnya sebagai sebuah ironi. Ketika kebaya menyimbolkan antikolonial, eh malah dikolonialisasi sebagai simbol feminitas toksik 'toxic femininity'. Dulu kebaya sudah dikotak-kotakkan berdasarkan ras, sekarang juga masih dikotak-kotakkan berdasarkan makna dan simbol. Kapan kebaya bisa bebas seperti identitasnya sendiri?

Feminitas toksik dalam kebaya mengharuskan perempuan tampil feminin, rapi, anggun, dan lemah lembut ketika berkebaya; seolah-olah ada image yang harus dijaga, dan ini malah membelenggu perempuan dari kebebasan berekspresi.

Perempuan dituntut memenuhi stereotipe budaya dan citra lemah lembut yang terus ada secara turun-temurun. Perempuan "dipaksa" mempersempit ruang geraknya sendiri, baik emosional maupun jasmaniah. Sesederhana cara duduk saja dinilai sangat krusial ketika perempuan sedang mengenakan kebaya, "Masa duduknya seperti itu?"

Jika dipikir-pikir lagi pun, Raden Ajeng Kartini—seorang pahlawan perempuan yang berjasa dalam emansipasi perempuan—juga memakai kebaya. Hal yang sangat mencolok adalah kebaya itu bukan untuk tampil anggun ataupun lemah lembut, melainkan untuk melawan dan menyuarakan. Kartini menunjukkan bahwa perempuan yang berkebaya juga bisa berjuang: melalui tulisan, menggugat patriarki, serta menyuarakan kesetaraan pendidikan.

Banyak juga perempuan-perempuan lain yang mengenakan kebaya saat memimpin, mengajar, bahkan turun ke jalan. Jadi, jangan lagi, ya, kita mengurung identitas kebebasan yang dimiliki oleh kebaya.

Ada perempuan yang ingin berkebaya untuk tampil anggun dan lemah lembut? Boleh.

Ada perempuan yang ingin berkebaya untuk tampil berani dan powerful? Itu juga boleh.

"Kebaya merupakan simbol lemah lembut ...." Itu baru tidak boleh, atau lebih tepatnya mari kita kurangi secara kolektif bersama-sama.

Kita tidak perlu melangkah pergi karena kebaya adalah warisan budaya yang wajib kita lestarikan, suarakan, dan sebarkan dengan bangga. Namun, kita bisa mulai berhenti mengotak-kotakkan kebaya sebagai pakaian manis untuk perempuan, sebagai pakaian yang menyimbolkan keanggunan dan lemah lembut.

Layaknya makhluk hidup, kebaya juga punya jiwa dan identitas sendiri, yang salah satunya adalah kebebasan.

Nurkalina Pratiwi Suganda