Membaca kisah hidup Hamka itu tidak pernah ada habisnya. Semakin kita mengenal pemikiran serta riwayat kehidupannya, maka semakin dalam rasa keingintahuan kita untuk lebih mengenalnya, juga mengambil ibrah serta inspirasi dari sikap-sikap Hamka yang luar biasa. Tidak hanya dikenal sebagai ulama, Hamka adalah jurnalis, sastrawan juga politisi yang selalu mendedikasikan dirinya untuk masyarakat.
Bahkan meskipun sudah banyak buku yang menulis tentang kisah hidup dan perjuangan Hamka—dalam berbagai versi—tetap saja buku-buku bertema serupa masih diminati pasar dan tetap laku keras. Sebut juga novel biografi Hamka yang ditulis Haidar Musyafa; Hamka, Jalan Cinta Biya, Buya Hamka (Novel Biografi), Pribadi & Martabat Buya Hamka yang ditulis H. Rusydi Hamka dan Ayah Kisah Buya Hamka karya Irfan Hamka, Buya Hamka Setangkai Pena di Taman Pujangga karya Akmal Nasery Basral dan banyak lagi.
Karena disadari atau tidak dalam setiap buku yang mengangkat nama besar Hamka, di sana kita akan terus menemukan kembali mutiara-mutiara hidup penuh hikmah serta berbagai kisah menarik dari kehidupan Hamka yang sayang untuk dilewatkan. Buku “Memahami Hamka” sendiri bukanlah buku pertama yang ditulis Haidar Musyafa yang mengangkat kisah hidup Hamka.
Sebelumnya ia telah menulis dwilog Hamka yang terdiri dari dua buku; Pertama bertajuk Hamka dan buku kedua bertajuk Jalan Cinta Buya. Kedua buku itu hadir dalam bentuk novel biografi. Namun, meskipun buku berbeda genre dari dua buku sebelumnya, Memahami Hamka, tetaplah menarik untuk disimak. Karena di sini penulis menghadirkan banyak fakta-fakta menarik dan berbagai pemikiran Hamka yang jarang kita temukan. Melalui buku ini kita akan semakin mengenal dan bahkan akan semakin kagum dengan sepak terjangnya yang sangat luar biasa.
Bahkan KH. Abdurrahman (Gus Dur) dalam buku Hamka di Mata Hati Umat, memuji sosok Hamka : “Jika ingin dirumuskan secara bersahaja, letak kebesaran Buya Hamka adalah pada kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif. Ia menghargai manusia lain secara tulus.” (hal 7).
Sebagaimana yang kita ketahui, Hamka adalah sosok ulama yang sangat mencintai tanah air. Hal itu bisa kita lihat dari sepak terjang Hamka yang pernah ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Memanfaatkan cara perjuangan secara kooperatif saat datangnya tentara Jepang yang ingin mengambil alih kekuasaan Belanda, Hamka berhasil memanfaatkan Jepang untuk mencapai tujuan-tujuan perjuangan di wilayah Sumatra. Selain itu masih banyak pergerakan lain yang pernah dilakukan Hamka dalam upaya menjaga tanah airnya agar tidak dijajah secara semena-mena.
Menurut Hamka cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Hal itu pernah ia paparkan dalam beberapa buku yang pernah ia tulis. Misalnya dalam buku Lembaga Hidup. Hamka menguraikan, “Bersatu bangsaku menyeru Tuhan, memohon tanah air memperoleh kejayaan. Terdengar azan di puncak menara, hayya alal falah, marilah kita menuju kemenangan. Aku bersama bermiliun bangsaku pergi ke sana, mencecahkan dahi ke lantai menyembah Tuhan. Sehabis shalat aku memohon kepada Tuhan agar tanah airku diberkati.” (hal 15).
Dalam buku lainnya, Tasawuf Modern, Hamka menyebutkan bahwa mencintai tanah air merupakan keutamaan seorang yang mengaku beriman kepada Allah. Bagi siapa saja yang mencintai tanah airnya, membela tanah tumpah darahnya dengan segenap jiwa dan raga, serta melakukan segala upaya demi terwujudnya bangsa dan tanah air yang maju dan memperoleh kejayaan, maka dia adalah orang atau warga negara yang beriman. Sebaliknya, seorang warga negara yang tidak memiliki rasa kepedulian terhadap tanah airnya, diam saja melihat kemunduran bangsanya, serta tidak bersedia mendhamarbaktikan jiwa dan raganya untuk membela negerinya, ia adalah seorang warga negara yang tidak beriman kepada Allah. (hal 16).
Selain itu Hamka adalah sosok yang sangat toleran. Ia adalah sosok yang selalu menghargai dan menghormati perbedaan. Karena menurutnya perbedaan adalah keragamaan yang akan mendatangkan rahmat dari sisi Allah jika kita mau menyikapinya dengan benar, sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunnah. Hal itu bisa kita lihat dari sikap dan sepak terjang Hamka dalam menghadapi berbagai perbedaan di sekitarnya. Misalnya dalam menyikapi kebiasaan ulama Muhammadiyah dan Nahdlutul Ulama (NU)—di antaranya kebiasaan membaca doa qunut saat shalat subuh.
Di mana pernah ada kejadian demi menghormati sahabatnya, KH. Idam Chalid, yang seorang NU. Saat mereka melakukan perjalanan dakwah bersama dan kebetulan Hamka didaulat sebagai imam, maka dengan senang hati ia membaca doa qunut pada rakaat kedua. Selain itu, ada pula berbagai kejadian lain yang sering dilakukan Hamka untuk menghormati berbagai perbedaan yang ada di depan matanya.
Inilah bukti bahwa Hamka bukanlah sosok yang kolot atau keras, sebagaimana yang sering digembar-gemborkan kebanyakan orang-orang yang tidak terlalu mengenal Hamka dengan baik. Padahal Hamka adalah sosok ulama kharismatik yang lemah lembut dalam berdakwah, selalu mengedepankan sikap toleran, menghormati orang lain dan selalu memanusiakan orang sebagaimana mestinya.
“Perbedan adalah awal perpecahan, sementara saling menghargai pendapat orang lain adalah kunci untuk membangun ukhuwah. Hamka tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, karena hal itu terlahir alami sesuai dengan dalil dan nash yang diyakini masing-masing orang. Jadi, jika umat Islam ingin rukun dan tidak cakar-cakaran, Hamka adalah orang yang paling tepat dijadikan rujukan tentang bagaimana menyikapi perbedaan dengan luwes.” (hal 58).
Itu baru secuil dari isi buku ini. Masih banyak pembahasan lain yang disampaikan penulis dengan lugas dan menarik. Membaca buku ini kita akan mengenal dengan baik bagaimana sosok Hamka yang sebenarnya—dimulai dari masa kecilnya, petualangannya hingga perjuangannya selama menjadi ulama serta sastrawan yang bisa dibilang penuh liku. Karena pada proses tersebut, Hamka selain harus berdakwah ia juga harus mengalami berbagai fitnah keji dari banyak pihak yang ingin menjatuhkannya—dari difitnah sebagai plagiator hingga tuduhan makar.
Tidak ketinggalan di sini pun kita bisa melihat bagaimana sepak terjang Hamka dalam upaya mencerdaskan bangsa—karena dalam perjalannya Hamka juga sempat mendirikan sekolah dan berperan dalam menghadirkan metode pendidikan yang tidak hanya menggunakan metode ceramah, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi anak, sehingga anak murid bisa semakin berkembang.
Melalui buku ini kita bisa merasakan gairah hidup dan perjuangan Hamka yang luar biasa. Kita bisa mencontoh sikap toleransinya terhadap perbedaan, pun kita juga bisa belajar tentang semangat belajar tinggi pada diri Hamka. Tidak hanya itu ia juga mencotohkan sikap patriotisme, kepedulian pada sesama dan banyak lagi.
Dari berbagai buku yang membahas tentang biografi Hamka—baik yang ditulis Hamka sendiri berupa autobiografi Kenang-Kenangan Hidup atau pun buku senada yang ditulis oleh putra-putranya atau penulis lainnya, buku ini cukup unggul dalam memaparkan biografi Hamka dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak jlimet. Jadi ketika membaca kita tidak perlu mengeryitkan kening karena merasa bingung, karena bahasanya yang terasa kaku atau sulit dipahami. Sebagaimana dalam buku Kenang-Kenangan Hidup yang dipaparkan dengan bahasa Indonesia Melayu, sehingga agak sulit dipahami.
Begitu pula ketika kita membandingkan buku ini dengan buku bertema sama—membahas kisah hidup Hamka lainnya—Pribadi & Martabat Buya Hamka yang ditulis H. Rusydi Hamka dan Ayah Kisah Buya Hamka karya Irfan Hamka—dari segi isi tentunya kedua buku itu memiliki keunggulan dalam menceritakan hidup Hamka secara detail. Karena mereka pernah merasakan kehidupan bersama sang tokoh besar. Namun dari segi bahasa Memahami Hamka tetap unggul dalam penjabaran yang lebih lugas dan lebih luas lagi karena memang didukung dengan berbagai referensi.
Secara keseluruhan buku ini sangat menarik dan tentunya sangat menginspirasi. Bagi penikmat sejarah dan kisah para tokoh ulama, buku ini sangat saya rekomendasikan. Karena melalui buku ini kita akan menemukan tumpukan mutiara hikmah yang tidak terbatas. Selamat membaca.
Judul: Memahami Hamka; The Untold Stories
Penulis: Haidar Musyafa
Penerbit: Imania
Cetakan: Pertama, September 2019
Tebal: 576 halaman
ISBN: 978-602-7926-50-6
Peresensi: Ratnani Latifah
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Gaga dan Ruri: Ajari Anak agar Tidak Mengambil Milik Orang Lain
-
Mengulik Misteri Denah Rumah Tak Lazim Lewat Buku Teka-Teki Rumah Aneh
-
Ulasan Novel 'Ranah 3 Warna', Buah dari Kesabaran dalam Meraih Cita-cita
-
Duka di Balik Komedi, Ulasan Novel Capslok: Capster Anjlok
-
Nicholas Saputra Siap Bintangi Film 'Tukar Takdir', Adaptasi Buku Laris!
Ulasan
-
Review Film Hotel Pula, Ketika Trauma Perang Memengaruhi Kehidupan Seseorang
-
Review Novel 'Iyan Bukan Anak Tengah', Ketika Anak Merasa Tidak Diprioritaskan
-
Lagu ENHYPEN 'No Doubt': Pengen Cepet Pulang Kantor buat Ketemu Si Dia
-
Ulasan Novel Komet Minor, Petualangan dalam Menemukan Pusaka Dunia Paralel
-
Ramai Lagunya di TikTok, The Jansen Band Punk Energik Digemari Anak Muda
Terkini
-
Marselino Ferdinan Dipanggil Timnas Indonesia untuk AFF Cup 2024, Akankan Klub Beri Izin?
-
3 Film Sydney Sweeney yang Tak Boleh Kamu Lewatkan, Terbaru Ada Eden!
-
Sinopsis Drama Korea The Tale of Lady Ok, Dibintangi Lim Ji Yeon dan Choo Young Woo
-
3 Red Peeling Serum yang Bikin Wajah Mulus dan Cerah, Harga Rp50 Ribuan
-
Tak Hanya 'Doubt', Ini 4 Drama Korea Chae Won-bin yang Sayang untuk Dilewatkan