Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ratnani Latifah
Cover buku Gelap-Terang Hidup Kartini (DokPribadi/Ratnani Latifah)

Kita tentu sudah tidak asing dengan nama dan peran Raden Ajeng Kartini bagi kaum wanita. Ia merupakan tokoh emansipasi wanita, yang berjuang tanpa pamrih untuk kebebasan kaumnya. Ia memperjuangkan kesetaraan pendidikan bagi kaum wanita. Baginya wanita memiliki hak yang sama sebagaimana kaum lelaki untuk memperoleh pendidikan.  

Karena peran pentingnya itulah pada tanggal 21 April diperingati sebagai ‘Hari Kartini’ yang mana tujuannya untuk menghormati  perjuangan Raden Ajeng Kartini, yang telah berusaha keras untuk memperjuangkan hak wanita dan kesetaraan gender. 

Buku ini dibuka dengan prolog yang menarik dan menggelitik, “Kartini  adalah kontradiksi : ia cerdas sekaligus lemah hati. Ia menyerap ide masyarakat Barat tapi tak takluk pada adat. Ia feminis yang dicurigai. Ia dianggap terkooptasi oleh ide-ide kolonial. Tapi satu yang tak bisa dilupakan: ia inspirasi bagi gerakan nasionalisme di Tanah Air.” (hal xii)

Sebuah penggambaran yang tepat dan akurat. Karena faktanya meskipun ia menentang poligami, tetapi pada akhirnya ia tak sanggup menyakiti hati sang ayah. Ia tetap menikah dan menjadi istri keempat dari Bupati Rembang Kanjeng Raden Adipati  Djojoadiningrat. Tetapi meskipun sudah menikah ia tidak melupakan perjuangannya untuk kaum wanita. Ia tetap berjuang dengan dukungan penuh dari sang suami dengan mendirikan sekolah wanita. 

Kartini melakukan dobrakan baru, yang membuat kaum wanita  tidak lagi terkungkung oleh adat dan budaya. Ia melakukan gebrakan untuk kemajuan kaum wanita. Di mana ia fokus menentang feodalisme, menetang praktik poligami, dan memperjuangkan pendidikan pagi kaum perempuan. 

“Kartini mendobrak terhadap feodalisme, poligami, dan adat-istiadat yang mengungkung perempuan. Dia yakin pemberian pendidikan yang lebih merata merupakan kunci kemajuan.” (hal 8)

Kartini lahir sebagai putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dari garwa ampil atau selir bernama Ngasirah. Fakta itu membuat ia melihat dengan jelas bagaimana ibunya diperlakukan secara berbeda. Meksipun Ngasirah merupakan istri seorang Bupati, tetapi ia hidup selayaknya pembantu. Bahkan ia tak diizinkan untuk memanggil ibu kandungnya dengan panggilan  ‘ibu’. ia harus memanggil sang ibu dengan panggilan ‘yu’. Kenyataan itu membuat Kartini sedih dan geram. 

Kartini juga melihat bagaimana perlakuan berbeda yang  diberikan pada anak perempuan dan lelaki. Anak lelaki bisa bebas mendapatkan pendidikan sesuai yang mereka inginkan. Tetapi bagi perempuan, mendapatkan pendidikan itu sesuatu yang sulit untuk digapai. Perempuan harus rela dipingit—guna disiapkan sebagai  seorang istri yang baik, yang bisa memasak, melayani suami dengan penuh pengabdian—bahkan jika ia dipoligami.

Peraturan itulah yang membuat Kartini berontak. Ia tidak mau dikalahkan adat istiadat yang membuat gerakan perempuan dibatasi. Ia juga ingin mendapatkan kesempatan selayaknya anak lelaki untuk memperoleh pendidikan yang layak. 

Ia mengungkapkan segala keresahannya dengan melakukan korespondensi dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, sahabat pertamanya dari Belanda. Di sana ia menuliskan segala hal yang berhubungan dengan adat budaya yang membelengu kaum wanita, termasuk tentang masalah pendidikan.

Menurut Kartini “Pendidikan dan ilmu pengetahuan akan memajukan kaum perempuan. Dengan pendidikan, seorang perempuan tak perlu dipingit. Pendidikan, melalui sekolah dan cara-cara lain, akan melengkapinya dengan keahlian yang bisa menopang hidupnya sendiri, juga menentukan jalan hidupnya  dalam urusan perkawinan.” (hal 12)

Sebelum mengenal Stella, Kartini lebih dulu mengenal Marie Ovink-Soer, Istri Asisten Residen Jepara Ovink. Dari perempuan Belanda itu, ia mengenal majalah De Hollandsceh dan berhasil membuat ayahnya berlangganan majalah itu. Berkat majalah itu ia mengenal Stelle dan melakukan  korespondensi dengan aktivis feminis asal Belanda tersebut. Dari dua tokoh tersebut, Kartini mengenal J.H. Abendanon dan istrinya,  Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan tokoh penting lainnya. Pada mereka itulah Kartini mengungkapkan segala gagasan yang ia miliki, yang membuat mereka memerhatikan nasib perempuan Jawa. 

Hanya saja perjuangan Kartini tidak berlangsung lama. Ia memang memiliki gagasan-gagasan yang maju, tetapi ia usianya tak sepanjang gagasan yang ia miliki. Kartini meninggal pada usia 25 tahun, empat hari etelah melahirkan putranya, Soesalit. 

Sebelum masuk dunia pingitan, Kartini menikmati masa kanak-kanaknya dengan menyenangkan. Ia bermain dan sempat menikmati serunya  belajar di skeolah. Ia mendapat julukan ‘trinil’ karena ia  adalah sosok yang lincah, gesit, cerdas dan tidak bisa diam. Ia fasih dan  mahir menulis bahasa Belanda. Ia juga gemar membaca, sehingga pengetahuannya sangat luas.

Hanya saja pada usia 12 tahun, ia harus menerima takdirnya sebagai perempuan. Ia harus dipingit. Ia tidak dapat lagi melihat luasnya dunia, menikmati kebebasan dan atau sekadar melanjutkan pendidikan,  sampai ada sosok yang datang untuk melamarnya.  

Adat kolot itu mencengkeram langkah Kartini dan membuatnya berontak. Beruntung ia memiliki kakak yang baik hati, RM panji Sosrokartono yang dengan senang hati meminjamkan buku-bukunya. Di tempat sempit itulah ia belajar sendiri dengan memperbanyak bacaabn, termasuk membaca berbagai  buku, koran dan majalah—baik dari dalam atau luar negeri—milik sang ayah. 

Lalu ketika dua adiknya, Roekmini dan Kardinah yang sudah mulai dipingit, ia menerapkan gagasan persamaan derajat. Mereka tidak perlu bersikap terlalu kaku satu sama lain. Bersama dua adiknya pula mereka sama-sama berjuang untuk kemajuan kaum perempuan. Di tempat itu pula kemampuan menulis Kartini mulai terasah. Beberaka karya tulisnya pernah dimuat beberapa media dan jurnal, meskipun bukan dengan namanya sendiri.

Ketika akhirnya mereka terbebas dari adat pingitan, Kartini, Roekmini dan Kardinah sangat bersyukur. Mereka membangun sekolah putih pertama di Hindia Belanda. Sekolah itu terletak di beranda belakang rumah dinas Bupati Jepara. Di sana ia dan kedua adiknya mengajarkan baca-tulis, budi pekerti, memasak, merenda, menjahit, menggambar dan kerajinan tangan. Tak hanya itu mereka juga membantu mengembangkan kerajinan tangan ukir dengan menciptakan motif macan kurung. 

Kartini mendedikasikan hidupnya untuk berjuang demi kemerdekaan kaum perempuan. Ia merupakan pelopor dan pembuka pintu yang membuat wanita tak lagi dipandang sebelah mata, dan memiliki hak sama untuk mendapat pendidikan. Pemikiran, gagasan dan tulisannya telah memberikan banyak inspirasi bagi banyak kalangan. 

Memang jejak perjuangannya tidaklah lama, tetapi jejak pemikirannya masih abadi hingga sekarang. Meskipun ia tidak mengangkat senjata dan melakukan orasi, pemikiran dan gagasannya sangat menginspirasi. Itulah hebatnya seorang Kartini. Meskipun terlahir dari keluarga ningrat ia lebih nyaman hidup dalam keseteraan dan tidak menggunakan adat yang kaku. 

Secara keseluruhan buku ini sangat menarik dan mencerahkan. Membaca buku ini kita seperti melihat kilas balik kehidupan tokoh emansipasi wanita yang begitu luar biasa. Ia gigih dan tangguh dalam memperjuangkan keseteraan dan memperjuangkan hak perempuan. Ia juga berhasil mendobrak zaman, hingga  membuat kaum perempuan dapat memperoleh pendidikan. 

Kartini menunjukkan bahwa perempuan itu tak sepatutnya diikat dengan adat yang merugikan. Perempuan berhak untuk maju sebagaimana kaum lelaki.  Apalagi perempun merupakan pintu  dan kunci pembuka bagi kemajuan anak bangsa. Bagaimana tidak, dari perempuanlah seorang anak belajar banyak hal—dari belajar membaca, menulis, berbicara, berpikir, berjalan dan lain sebagainya.  Perempuan kelak menjadi seorang ibu. Bagaimana anak mendapatkan pendidikan yang baik, jika seorang ibu tidak memiliki pendidikan yang baik pula? Mengingat dari seorang ibu itulah, nanti kita dapat mencetak generasi hebat yang mampu mengubah dunia. 

Buku ini memang tipis dan kecil, tetapi uniknya  buku ini menyimpan banyak sekali pengetahuan dan wawasan yang dapat kita renungkan. Perjuangan dan kisah hidup Kartini akan membuat kita menyadari peran penting yang telah dilakukan tokoh kelahiran Jepara ini. 

Meskipun faktanya, pengangkatan Kartini sebagai pahlawan nasional telah menimbulkan banyak kontroversi. Sebagaimana yang dipaparkan sejarawan  Harsja W. Bachtiar yang menganggap bahwa Kartini hanyalah ‘pahlawan’ yang dibesarkan  Belanda. Ia menganggap Dewi Sartika dan Rohana Kudus lebih berhasil dalam mewujudkan impian mereka dalam membangun sekolah untuk kaum perempuan. 

Dan perbedatan ini sampai sekarang masih sering terdengar. Banyak masyarakat yang masih kurang berkenan dengan terpilihnya ‘Kartini’  sebagai pahlawan nasional, dibandingkan tokoh perempuan lainnya. Banyak yang masih mempertanyakan kenapa harus ‘Kartini’ yang menjadi simbol pahlawan perempuan. Padahal ada Dewi Sartika, Rohana Kudus,  Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu atau pahlawan perempuan lainnya.

Mengutip dari sejarahan Hilman Farid, “Kartini memang tidak angkat senjata atau memimpin pemerintahan seperti banyak “pahlawan nasional” di luar sana. Ia tidak menggalang massa atau menyerukan pemberontakan. Tapi tulisannya menggambarkan perjuangan panjang di “ruang dalam” yang belum selesai sekalipun kemerdekaan di “ruang luar” sudah tercapai. Relevansi dari pemikiran dan perbuatannya sangat terasa sekarang saat politik semakin maskulin serta hanya berputar pada soal perebutan kuasa dan  sumber daya, sementara “ruang dalam” semakin poran-poranda.” (hal 143-144)

Inilah yang harus kita cermati. Meskipun banyak pahlawan wanita, dan banyak tokoh pendidikan seperti Dewi Sartika atau Rohana Kudus, mereka memiliki cara perjuangan yang tidak sama. Mereka sama-sama pejuang yang memiliki peran penting untuk perubahan bagi bangsa Indonesia. 

Keunikan lain dari buku ini adalah pemilihan kalimat pembuka pada setiap bab yang menarik dan mampu mengundang rasa penasaran untuk terus membalik setiap halaman buku ini. 

Buku ini memiliki keunggulan dalam tata bahasa yang dipaparkan dengan lugas, cerdas dan mudah dipahami. Sehingga ketika membaca buku ini kita seperti melihat jejak remak perjalanan RA Kartini dari dekat. Apalagi dengan adanya gambar pendukung, yang dapat membuat kita membayangkan bagaimana kisah hidup tokoh emansipasi wanita ini selama hidupnya. Buku yang tipis, tetap sangat padat dan mampu membuka cakrawala bagi siapa saja yang membacanya. Apalagi dengan adanya kolom di bagian terakhir yang akan membuat pikiran kita semakin terbuka. 

Sedikit kelemahan di dalam buku ini adalah, buku ini masih kurang panjang. Saat tengah asyik membaca, tiba-tiba kita sudah di akhir halaman. Lalu sedikit kekurangan lainnya di sini kita harus siap membaca kisah Kartini yang tidak berarutan—jadi urutan bab dalam buku ini, jika dalam bentuk novel, memakai alur campuran.

Kita tidak diajak mengenal Kartini dari proses kelahiran dan masa kecilnya dan berlanjut hingga kematiannya. Tetapi  kita diajak untuk mengenal pemikirannya terlebih dahulu dengan menempatkan pengalaman korespondensi Kartini dengan aktivias feminis asal Belanda. Setelah itu perlahan kita akan diajak untuk kembeli ke masa kecil dan bagaimana kisah dan perasaa Kartini ketika harus dipingit atau ketika hidupnya harus terbentur antara mimpi, adat dan norma yang ada.  

Jadi selama membaca kita harus benar-benar fokus agar tidak salah memahami alur hidup RA Kartini. 

Namun lepas dari kekurangannya,  buku hasil suntingan Leila S Chudori ini sangat patut kita apresasi. Melalui buku ini penyuntig buku  yang mampu menghidupkan kisah dan perjuangan  Kartini dengan sangat baik di dalam buku ini.  Kepada siapa saja yang ingin mengenal lebih dalam tentang sosok Kartini buku ini bisa menjadi pilihan bacaan yang menyenangkan dan membuka wawasan. 

Judul: Gelap – Terang Hidup Kartini

Penyunting: Leila S. Chudori & Redaksi KPG

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan: Pertama, April 2017 

Tebal: xii + 157 halaman

ISBN: 978-602-424-349-4

Ratnani Latifah