Baru pertama kali saya menemukan buku dengan gaya seperti buku karya penulis Korea bernama Baek Se Hee ini. Awalnya saya kira, buku ini akan berisi sebuah cerita fiksi remaja yang dibumbui latar psikologi, melihat jilidnya yang memiliki warna menggemaskan. Tapi, don’t jugde books by its cover!
Saya sering melawannya, padahal kalimat itu seringkali benar adanya. Sebuah jilid belum tentu benar-benar mencerminkan isi sebuah buku yang dilindungi.
Buku ‘I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki’ ini menyajikan alur cerita seorang penderita depresi yang melakukan konsultasi dengan psikiater setiap minggu. Uniknya, sang penderita depresi tersebut adalah penulis buku ini sendiri. Buku ini juga didominasi oleh percakapan antara penulis dan psikiater yang direkam.
Melalui buku ini, kita jadi tahu bagaimana suatu proses konsultasi antara penderita penyakit mental dengan seorang psikiater berlangsung. Di setiap minggunya, sang psikiater selalu memberi tantangan baru kepada pasien guna meningkatkan keadaan mental pasien tersebut agar menjadi lebih baik.
Dalam buku ini, Baek Se Hee seringkali membenci dirinya sendiri selama ia mengidap penyakit depresi. Psikiater membantu dirinya untuk lebih bisa menerima siapa dirinya. Bahwa dia sebenarnya tidak seburuk itu dan tidak perlu selalu jadi yang terbaik hanya demi image nya di mata orang-orang.
Perasaan tidak enakan yang berlebihan, selalu memata-matai diri sendiri, ketergantungan oleh orang lain, semuanya seolah terdengar simpel. Hingga kita sering mengabaikan jenis-jenis perasaan macam ini karena tahu orang-orang juga akan menyepelekannya. Tapi percayalah, ketika membaca buku ini saya benar-benar lega. Ternyata ada orang di dunia ini yang sangat mementingkan dan begitu peduli pada yang namanya perasaan.
Faktanya semua manusia selalu terlihat lebih baik dari apa yang dia rasakan sebenarnya. Dan saya rasa, buku ini benar-benar memahami manusia.
‘Cara kita menerima dan menghadapi satu situasi yang sama bisa menjadi berbeda tergantung dengan perasaan dan kondisi kita saat dihadapkan dengan situasi tersebut.’ (I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki, hlm. 65)
Baek Se Hee benar-benar menuangkan semua perasaannya pada buku ini. Perasaan buruk yang membuat hari-harinya juga terus berlangsung buruk. Tapi dengan tekadnya yang kuat untuk bisa menjadi lebih baik lagi, Baek Se Hee bisa lebih berdamai dengan dirinya sendiri sampai ia mau membagi kisahnya melalui buku bertajuk ‘I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki’.
Baca Juga
-
Xdinary Heroes Umumkan Tanggal dan Kota Tur Dunia 2025 "Beautiful Mind"
-
Selesai Wamil, Kai EXO akan Lanjutkan Siaran TV Detective: The Trade Secret
-
Solar MAMAMOO Bagikan Teaser Pertama untuk Comeback April dengan "WANT"
-
Yukaris, Fan Cafe Resmi Kim Soo Hyun Beri Klarifikasi soal Isu Penutupan
-
Sukses Main Drama Bareng, Park Bo Gum dan IU Kini Bersatu di "IU's Palette"
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel 1984: Distopia yang Semakin Relevan di Dunia Modern
-
Ulasan Novel Harga Teman: Ketika Hasil Kerja Tidak di Hargai oleh Klien
-
Hidup dalam Empati, Gaya Hidup Reflektif dari Azimah: Derita Gadis Aleppo
-
KH. Hasyim Asy'ari: Tak Banyak Tercatat, Tapi Abadi di Hati Umat
-
Ulasan Novel The One and Only Bob, Kisah Berani Bob sang Anjing Kecil
Ulasan
-
Review Anime Bofuri, Main Game VRMMORPG yang Jauh dari Kata Serius
-
Baper, Film Jepang 'The Blue Skies at Your Feet': Cinta, Waktu dan Air Mata
-
Kisah Manis Keluarga di Novel 'Rahasia Keluarga dan Cerita-Cerita Lainnya'
-
Desa Wisata Bromonilan, Menikmati Sejuknya Udara khas Pedesaan di Jogja
-
Sambal Goang yang Super Pedas, Pecel Lele 5 Saudara Primadona Baru Jambi
Terkini
-
Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Laba Menyusut: Suara Hati Pengusaha Indonesia
-
Ondrej Kudela Antar Persija Jakarta Teguk Kemenangan, Persik Kediri Makin Terpuruk
-
Jawaban Ryan Coogler Soal Peluang Sekuel Film Sinners
-
Mengulik Pacaran dalam Kacamata Sains dan Ilmu Budaya
-
Orang Baik Sering Tersakiti: Apakah Terlalu Baik Itu Merugikan Diri?