Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Athar Farha
Foto Film Women From Rote Island (IMDb)

Lanskap sinematik sering diperkaya oleh film-film yang nggak hanya memukau penonton, tetapi juga menyampaikan pesan tentang isu-isu sosial yang mendesak dan sensitif. "Women from Rote Island" sudah menghiasi bioskop-bioskop tertentu di Indonesia sejak 22 Februari 2024, dan menjadi bukti nyata dari film yang secara gamblang membahasnya, hingga meraih kesuksesan di Piala Citra FFI 2023 dengan membawa pulang gelar bergengsi: Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Sinematografi Terbaik, dan Skenario Asli Terbaik. 

"Women from Rote Island” disutradarai oleh Jeremias Yangoen. Kemampuannya dalam merangkai narasi yang memikat, menjadikan film ini sebagai 'kuda hitam' di ajang FFI 2023. Namun, "Women from Rote Island" sudah lebih dahulu tayang di Busan International Film Festival (BIFF). 

"Women from Rote Island" mengisahkan perjalanan Martha (Irma Rihi), perempuan asal Pulau Rote, yang mendapati kenyataan pahit saat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal di Sabah, Malaysia. Kembalinya dia ke kampung halamannya di Pulau Rote untuk menghadiri pemakaman sang ayah, rupanya membawa beban berat dalam benak Martha. Rupanya Martha, yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, menghadapi depresi berat karena menjadi korban kekerasan seksual di tempat kerjanya.

Ulasan:

Tokoh Martha diperankan dengan luar biasa oleh Irma Rihi. Perjalanan Martha dari pekerja migran ilegal, hingga menghadapi realitas kejam atas kekerasan seksual di perkebunan kelapa sawit yang menimpanya, dipresentasikan dengan intensitas yang nyata. Penampilan Irma Rihi menambahkan lapisan autentisitas pada karakternya, dan hal demikian membuat perjuangan dan ketahanan Martha begitu terasa nyata di mataku. 

Sayangnya, film ini mungkin hanya tayang di bioskop-bioskop tertentu dan terbatas. Ya, aku harus ke bioskop lain tadi pagi—nggak di tempat biasanya—akhirnya bisa nonton jam penayangan selepas Zuhur. Rasa-rasanya sulit membayangkan, kalau-kalau "Women from Rote Island" harus menghadapi tantangan sepi penonton karena tema dan preferensi penonton yang kurang cocok dengan kontennya, tentunya itu akan menjadi semacam dilema. Begitulah, seandainya nggak sukses secara ‘jumlah penonton’ karena keterbatasan layar, tapi penting untuk diingat, bahwa kesuksesan sebuah film nggak hanya diukur dari segi keuangan, tetapi juga dampak sosial dan kesadaran yang dapat dihasilkan. 

Hal paling krusial dalam "Women from Rote Island", ialah menggambarkan dampak yang mendalam dari kekerasan seksual pada karakter Martha. Film dengan penuh empati menggambarkan bagaimana pengalaman traumatis ini mempengaruhi psikologinya, meruntuhkan kepercayaan dirinya, dan meninggalkan bekas luka yang sulit sembuh. Penderitaan Martha menjadi manifestasi nyata dari dampak buruk kekerasan seksual, yang mana jadi menggugah empati dan kesadaran penonton tentang betapa pentingnya mendukung para korban.

Dengan penggambaran yang mendalam, "Women from Rote Island" memberikan ruang bagi penonton untuk merenung tentang perlunya perubahan dalam penanganan kasus kekerasan seksual dan dukungan yang lebih besar bagi para korban. Hal demikian pun tercermin dalam naratif filmnya nggak hanya mengutuk tindakan kekerasan seksual, tetapi juga menyuarakan dukungan untuk bersama-sama menentang kekerasan seksual.

Bisa kubilang dengan sangat yakin, "Women from Rote Island" lebih dari sekadar pengalaman sinematik; itu adalah panggilan untuk bertindak. Melalui penceritaan yang kuat, film ini mendorong masyarakat untuk menghadapi realitas kejam kekerasan seksual dan bersatu menentangnya. Kampanye untuk menghentikan kekerasan seksual, yang bergema nggak hanya untuk perempuan tetapi untuk semua orang. Dengan demikian, skor dariku: 9/10. Ingat, ya. Nggak semua penonton akan suka dengan treatment filmnya. Selamat menonton, ya!

Athar Farha