Apakah kamu termasuk generasi milenial yang lahir di awal tahun 90an atau mungkin gen Z yang lahir di akhir 90an? Jika iya, tentu akan ada banyak sekali kenangan yang melekat tentang masa kecil di era ini.
Yakni suatu masa ketika kita belum mengenal berbagai macam gawai dan teknologi yang amat memudahkan seperti hari ini. Barangkali muncul pertanyaan di kalangan generasi setelahnya, kalau zaman dulu belum secanggih sekarang, lantas generasi 90an kalau lagi gabut bakal ngapain dong?
Tentunya ada banyak juga hal-hal menarik yang pernah kita alami meski belum mengenal internet dan berbagai macam gawai. Mulai dari 'maraton' nonton kartun televisi di hari Minggu pagi, dengar musik dari walkman, atau saling berkirim sms dengan huruf besar dan kecil yang sulit dimengerti.
Sebagai generasi milenial yang tumbuh besar di era tersebut, mengenang masa kecil dan hal-hal yang khas di dalamnya kadang mendatangkan hiburan tersendiri.
Salah satu buku yang sangat pas untuk bernostalgia tentang hal tersebut adalah buku berjudul 'Generasi 90an' karya Marchella FP.
Sebagaimana judulnya, buku ini berisi ragam ilustrasi dan tulisan-tulisan pendek tentang hal-hal yang melekat di era 90an.
Mulai dari kebiasaan sehari-hari khas anak 90an, kumpulan budaya pop yang lagu nge-hits, sampai beberapa ilustrasi terkait memori yang melekat di momen tersebut.
Contohnya ketika mengenang peristiwa besar seperti demonstrasi tahun 1998, atau tragedi meninggalnya Nike Ardilla, salah satu aktris yang lagi naik daun waktu itu.
Selain peristiwa, kita juga diingatkan dengan hal-hal menyenangkan di tahun 90an yang barangkali sudah sulit didapatkan sekarang.
Misalnya euforia menonton televisi yang kala itu belum tersaingi dengan kehadiran layanan streaming masa kini. Waktu itu, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk nonton sinetron, kartun, atau acara gosip.
Barangkali di era modern seperti sekarang, polanya hampir mirip. Hanya saja, medianya saja yang berbeda.
Jika sekarang banyak yang kecanduan maraton drakor atau berbagai judul series di Netflix, generasi 90an hanya mengenal sinetron Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, Jin dan Jun, dan beberapa judul sinetron lain.
Bapak-bapak nonton Dunia dalam Berita, ibu-ibu nonton telenovela, dan anak-anak nonton Dragon Ball atau Sailor Moon.
Oh ya, jangan lupa, siapa nih anak 90an yang doyan ngumpulin mainan BP-BPan, koleksi mobil tamiya, atau tuker-tukeran kertas binder terus nulis biodata teman-temannya? Nah, gen Alfa atau bahkan gen Z tahun 2000an pasti nggak relate.
Di tahun 90an, kita belum mengenal media sosial. Adanya alat yang bernama Pager dengan proses mengirim pesannya menggunakan bantuan orang ketiga.
Kalau mau nelpon gebetan, harus pakai telepon yang bisa diakses orang serumah. Kadang sih deg-degan juga kalau yang mengangkat telepon adalah bapaknya si dia.
Nyari nomor teleponnya juga di Yellow Face atau buku kuning yang tebalnya nyaris mengalahkan ketebalan kitab suci.
HP saat itu masih menjadi barang mewah. Bagi yang punya, mengirim pesan singkat lewat sms yang dibatasi 160 karakter adalah hal yang butuh keahlian. Jangan heran jika sementara baca sms, sebagian teks hilang.
Kalau dipikir-pikir, hidup di era 90an seru juga. Jika dibandingkan hari ini, tahun-tahun ketika perkembangan teknologi belum sepesat sekarang adalah waktu ketika kita rasanya tidak mudah terdistraksi dan lebih mindful.
Hidup di era peralihan dari segala sesuatu yang serba analog menjadi digital adalah sebuah keseruan yang memungkinkan generasi 90an beradaptasi dengan perlahan terhadap kehadiran teknologi.
Jika Sobat Yoursay juga ingin bernostalgia dengan kenangan yang hadir ditahun 90an, atau sekedar ingin mengabadikan semua ingatan tersebut lewat sebuah buku, karya dari Marchella FP ini adalah salah satu reading-list yang jangan sampai dilewatkan!
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ulasan Buku Timeboxing: Atur Waktu di Era Digital Biar Hidup Nggak Chaos
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
Artikel Terkait
-
Belajar dari Denmark: Mengorbankan Pajak Buku Demi Cegah Krisis Literasi
-
Ulasan Novel 0 KM (Nol Kilometer): Simbolis Pertemuan dan Perpisahan
-
Ulasan Buku Passive Income Strategy, Tips Investasi Biar Tetap Cuan
-
Ulasan The Chicken Sisters: Pertarungan Kuliner dan Harga Diri Keluarga
-
Potret Budaya Palestina di Buku Homeland: My Father Dreams of Palestine
Ulasan
-
Review Film The Ghost Game: Ketika Konten Berubah Jadi Teror yang Mematikan
-
Review Film Pangku: Hadirkan Kejutan Hangat, Rapi, dan Tulus
-
Jarak dan Trauma: Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Novel Critical Eleven
-
Perjuangan untuk Hak dan Kemanusiaan terhadap Budak dalam Novel Rasina
-
Ulasan Novel Larung, Perlawanan Anak Muda Mencari Arti Kebebasan Sejati
Terkini
-
Bukan soal Pajak! Purbaya Tegaskan Thrifting Tetap Ilegal di Indonesia
-
Cliquers, Bersiap! Ungu Guncang Yogyakarta Lewat Konser 'Waktu yang Dinanti'
-
Vidi Aldiano Menang Gugatan Nuansa Bening, Tuntutan Rp28,4 Miliar Gugur!
-
Bukan Cuma Kekeringan, Banjir Ekstrem Ternyata Sama Mematikannya untuk Padi
-
Rok Sekolah Ditegur Guru, Zaskia Adya Mecca Ungkap Rasanya Punya Anak Remaja