Ada yang bilang duka itu seperti gelombang. Kadang datang perlahan, kadang menghantam begitu keras hingga kita nyaris tenggelam. Namun, ada pula yang menggambarkannya sebagai sesuatu yang menempel di tubuh, berjalan mengikuti kita ke mana pun pergi.
Begitulah yang aku rasakan saat nonton film besutan Samuel Van Grinsven, ‘Went Up the Hill’. Sebuah drama horor psikologis yang bukan hanya menampilkan kisah hantu, melainkan juga menghadirkan duka sebagai entitas yang begitu nyata, sampai-sampai bisa menelan kehidupan dua orang yang masih berusaha bernapas setelah ditinggalkan.
Film ini ditulis Van Grinsven bersama Jory Anast, dan tayang perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) 2024, tepatnya pada 5 September 2024.
Seberapa dalam duka yang terasa sih? Yuk, lanjut kepoin bareng!
Sinopsis Film Went Up the Hill
Kisahnya bermula saat Jack (diperankan Dacre Montgomery) datang ke pedesaan di Selandia Baru untuk menghadiri pemakaman seniman bernama Elizabeth (ibunya sendiri), yang sudah lama meninggalkannya sejak bayi.
Di sana, Jack bertemu dengan Jill (Vicky Krieps), kekasih (istri) ibunya. Paham, ya? Ibunya Jack tuh secara orientasi seksual agaknya menyimpang.
Pertemuan mereka nggak hanya canggung, tapi juga misterius, apalagi ketika keduanya menyadari ada panggilan aneh yang mempertemukan mereka.
Jack lalu menerima undangan untuk tinggal beberapa hari di rumah batu milik Elizabeth di puncak bukit. Rumah itu berdiri dingin, dengan arsitektur Brutalist yang kaku, hampir seperti monumen untuk menyimpan kenangan dan luka.
Namun sejak malam pertama, sesuatu yang ganjil mulai terjadi. Jack dan Jill sama-sama merasa kehadiran Elizabeth masih ada. Bukan hanya lewat bisikan atau penampakan samar.
Roh Elizabeth masuk ke tubuh mereka bergantian, membuat Jack dan Jill seakan-akan ‘menjadi’ Elizabeth untuk sementara waktu. Lewat tubuh mereka, Elizabeth mengungkap perasaan yang nggak tersampaikan semasa hidupnya; penyesalan, cinta, juga sisi gelap yang memicu keputusannya mengakhiri hidup.
Kondisi ini memaksa Jack dan Jill menghadapi pertanyaan yang paling mereka takuti:
Bagi Jack, mengapa ibunya tega meninggalkan dia sejak bayi?
Bagi Jill, mengapa cinta yang dia pikir abadi malah memilih jalan tragis untuk mengakhiri hidupnya?
Hubungan Jack dan Jill yang awalnya penuh jarak dan ketegangan perlahan berubah. Mereka saling membuka diri, tapi juga saling melukai. Roh Elizabeth terus menghantui, bukan sebatas ingin ‘berbicara’, tapi seakan-akan ingin memastikan luka masa lalu nggak pernah hilang.
Kisah mereka bergerak seperti spiral. Semakin Jack dan Jill mencoba melawan, semakin mereka tenggelam dalam trauma dan rasa bersalah masing-masing. Hingga akhirnya, yang jadi pertaruhan bukan hanya keselamatan mereka, tapi kewarasan. Apakah mereka tetap menjadi diri sendiri, atau ditelan bayangan Elizabeth? Tontonlah!
Review Film Went Up the Hill
Salah satu hal yang membuat aku terpaku sepanjang film adalah bagaimana Van Grinsven, bersama sinematografer Tyson Perkins, menciptakan ruang visual yang dingin, kaku, tapi juga indah. Rumah batu di puncak bukit itu divisualisasikan dengan gaya Brutalist, seakan-akan dinding-dindingnya menyerap segala kesedihan penghuninya.
Setiap pengambilan gambar terasa penuh perhitungan lho. Kamera yang membiarkan Jack atau Jill tetap berada di latar depan, sementara bayangan samar bergerak di belakang. Ruang seolah-olah nggak pernah stabil, batas antara nyata dan gaib begitu rapuh.
Walaupun elemen visual dan audio sangat kuat, film ini sejatinya adalah panggung untuk dua aktor utamanya. Vicky Krieps tampil kece sebagai Jill yang rapuh dan pucat.
Di sisi lain, Dacre Montgomery benar-benar mengejutkan. Setelah perannya yang ikonik sebagai Billy di Stranger Things, kini sebagai Jack yang terluka, marah, penuh kerinduan yang nggak pernah tersampaikan, benar-benar terpancar di tiap gerak dan sorot wajahnya. Ada saat-saat ketika tatapan kosongnya lebih menakutkan ketimbang roh ibunya.
Sebagai film kedua Samuel Van Grinsven, ‘Went Up the Hill’ terbilang pencapaian luar biasa. Sayangnya, film ini ada beberapa bagian yang terasa membingungkan.
Misalnya, kerasukan nggak dibuat dengan aturan yang jelas seperti film horor kebanyakan. Roh Elizabeth bisa masuk ke tubuh Jack atau Jill kapan saja, kadang sebentar, kadang lama, tanpa ada penjelasan kenapa atau bagaimana caranya. Kadang Elizabeth muncul untuk menyampaikan cinta dan penyesalan, di lain waktu terasa seperti menghukum.
Entahlah, ketidakjelasan ini kayak sengaja dibiarkan. Mungkin karena film ingin momen kerasukan itu terasa seperti duka: datang tanpa pola, mengambil alih, lalu pergi lagi tanpa permisi. Yang jelas nggak ada logika yang rapi. Terlepas dari itu, aku suka kok.
Skor: 3/5
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Horor Kanibalisme dalam Film Labinak yang Memunculkan Sumanto
-
Review Film The Seed of the Sacred Fig: Tatkala Rumah Jadi Miniatur Negara
-
Review Film Boys Go to Jupiter: Animasi yang Memantulkan Getir Kehidupan
-
Review Film Night Always Comes: Satu Malam Panjang, Satu Hidup Penuh Luka
-
Review Film Descendent: Alien dan Studi Karakter Pria yang Takut Jadi Ayah
Artikel Terkait
-
Sinopsis Aema Tayang di Netflix Hari ini, Pesona Honey Lee dalam Aksi Komedi
-
Ip Man 3: Donnie Yen Berhadapan dengan Tyson yang Buas, Tayang Malam Ini di Indosiar
-
Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita
-
Tanpa Stuntman, Ini 5 Proses di Balik Layar The Shadows Edge Film Terbaru Jackie Chan
-
6 Film Paling Cuan di 2025 Produksi Warner Bros, Weapons Bukan yang Pertama
Ulasan
-
Ulasan Never Have I Ever: Saat Cinta, Budaya dan Kekacauan Jadi Satu Kisah
-
Ulasan Novel A Whole Lotto Love: Romansa Manis di Balik Kemenangan Lotre
-
Ulasan Buku Generasi 90an, Kenangan Jadul dan Nostalgia Kaum Milenial
-
Ulasan Film Night Always Comes: Perjuangan Sengit di Malam yang Kelam
-
Ulasan Film The Sun Gazer: Drama Romansa yang Menyayat Hati
Terkini
-
Sinopsis Love is for the Dogs, Drama Romantis Kaya Kiyohara dan Na In Woo
-
Stop Rusak Bumi! Mulai Sekarang untuk Keberlanjutan Generasi Mendatang
-
Sisi Lain Unggahan Buku: Bukan Pamer, Tapi Bentuk Dokumentasi dan Motivasi
-
Blue Eye Samurai Season 2 Masuk Proses Produksi, Ini Bocoran dari Kreator
-
BRI Super League: Johnny Jansen Tidak Fokus pada Satu Pemain Persebaya