Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Athar Farha
Foto Film A Man Called Otto (IMDb)

"A Man Called Otto" berdurasi sekitar 126 menit atas arahan Marc Forster, dan dirilis di bioskop-bioskop Indonesia pada 13 Januari 2023. Naskahnya ditulis oleh David Magee berdasarkan kisah novel "A Man Called Ove" karya Fredrik Backman yang rilis pada tahun 2012. Adapun film ini merupakan adaptasi versi Amerika dari film Swedia yang sangat sukses pada tahun 2015 dengan judul serupa. 

"A Man Called Otto" mengisahkan kisah seorang pria tua kesepian yang berkeinginan bundir untuk bisa lepas dari beban hidup selepas sang istri, Sonya, meninggal. Otto tinggal di lingkungan perumahan, yang sederhana dengan rumah-rumah berjejer. Otto seringkali terganggu oleh kejadian-kejadian kecil di sekitarnya dan tampak malas bersosialisasi.

Berkali-kali Otto mau bundir, tetapi usaha bunuh dirinya sering terganggu oleh kejadian-kejadian yang nggak terduga. Meskipun Otto seringkali kesal dan sulit didekati, tetapi ketika dia akhirnya mencoba membuka diri, dia secara nggak terduga menjadi pahlawan lokal.

Ulasan Film A Man Called Otto

Ada sosok yang hanya karena cintanya telah menyatu dengan tanah, bikin dirinya menganggap ‘hidup hanya soal menunggu mati saja, malah kalau perlu kematian dibikin sendiri’. 

Sebagai penonton, aku memahami film ini bukan tentang mengajak bundir, tetapi membuka sisi lain yang berkaitan dengan pilihan hidup. Itulah misterinya. Dan film ini membuka berbagai perspektif dari orang yang mencoba bundir berkali-kali, tapi gagal, dan saat itulah dia punya kisah-kisah yang begitu menyentuh. 

Aku bisa merasakan hubungan antara Otto dan Sonya, sangat mendalam dan bermakna. Sonya adalah sosok yang mengubah hidup Otto, dan kehilangannya memberikan dampak yang sangat kuat pada karakter Otto. Selama kilas balik ke masa muda, terlihat bahwa mereka memiliki hubungan yang penuh cinta. Sampai-sampai dampak emosionalnya dirasakan terus hingga penghujung hidup Otto.  

"A Man Called Otto" memiliki elemen komedi yang sebenarnya agak ngilu. Walaupun Otto digambarkan sebagai karakter yang seringkali ansos dan terlihat serius, Tom Hanks, yang memerankan Otto, rupanya berhasil dalam memberikan monolog-monolog yang ketus dan lucu. Komedi dalam film ini hadir melalui kontras antara sifat serius Otto dengan situasi sekitarnya yang memancing tawa penonton.

Selain aku dibuat tertawa dengan tingkah Otto, perhatianku juga tertuju pada Marisol, tetangga yang bahagia dan energik, diperankan oleh Mariana Treviño. Marisol, bersama suaminya Tommy (Manuel Garcia-Ruflo), menjadi pengganggu utama bagi Otto yang cemberutan. 

Sebagai tetangga baru Otto, Marisol memiliki peran penting dalam perubahan hidup Otto. Meskipun Otto awalnya sulit menerima kehadiran Marisol dan kerap menunjukkan sikap apatis, tetapi Marisol dengan penuh semangat mencoba membawa sisi baik Otto ke permukaan. Hubungan mereka tumbuh menjadi persahabatan yang lambat namun pasti. 

Oh, iya, ada karakter yang nggak bisa diterima oleh semua penonton, sih, khususnya buat penonton yang nggak pro dengan adanya karakter bernama Malcolm. Dia merupakan remaja transgender (perempuan menjadi laki-laki). Malcolm menghadapi kesulitan, termasuk penolakan dari ayahnya yang membuatnya keluar dari rumah. Identitas gender memang topik yang sangat sensitif, yang mencakup cara individu mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai pria, wanita, atau dalam beberapa kasus, identitas gender non-biner atau genderqueer. Namun, film ini menyajikannya dengan halus dan terasa hangat. 

"A Man Called Otto” benar-benar menawarkan sebuah kisah yang cerdas (genial), tulus, dan jujur, tetapi nggak mencoba untuk menjadi sesuatu yang sangat istimewa atau luar biasa. Salah satu poin kuat film ini adalah pesannya tentang kebaikan kecil yang dapat dilakukan orang biasa. Meskipun akhirnya Otto meninggal, warisan yang dia tinggalkan nggak hanya berupa barang fisik tetapi juga perubahan positif dalam komunitasnya. 

Skor pribadi: 8,5/10. Sayang banget untuk nggak nonton film ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Athar Farha