Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Willy Bordus
Ilustrasi buku Ich Komme aus Sewon (Mojok)

"Ich Komme aus Sewon," sebuah buku dari Mojok yang ditulis oleh Katharina Stogmüller, adalah kisah nyata yang dituturkan oleh penulisnya. Dalam buku ini Katharina membagikan pengalamannya sebagai individu berdarah campuran Indonesia-Austria.

Buku ini mengeksplorasi bagaimana Katharina menavigasi tantangan hidup sebagai blasteran, termasuk menghadapi prasangka dan stereotip. Dengan gaya bercerita yang menarik, ia membagikan momen-momen dari masa kecilnya, termasuk waktu yang dihabiskan di Austria, hingga kisah-kisah di sekolah dan universitas yang penuh warna dan humor.

Kisah ayahnya, seorang Austria yang menetap di Indonesia dan menikahi ibunya, juga menjadi bagian penting dari buku ini, menggambarkan kehangatan dan keunikan keluarga mereka. Ayahnya, yang dikenal karena kebiasaan uniknya seperti mengenakan surjan saat mengantar Katharina, memberikan perspektif yang segar dan menghibur.

Katharina sendiri digambarkan tidak seperti stereotip anak blasteran yang hidup mewah dan terlepas dari realitas. Sebaliknya, buku ini mengungkap realitas hidup sebagai blasteran, dengan segala suka duka dan kompleksitasnya, termasuk proses panjang yang harus dijalani untuk mempertahankan identitas ganda mereka di Indonesia.

Secara keseluruhan, buku ini menantang pandangan negatif dan stereotip tentang anak-anak blasteran, menunjukkan bahwa kehidupan mereka tidak selalu mudah dan nyaman. Melalui pengalaman Katharina, pembaca diajak untuk memahami usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh keluarganya untuk menjaga keharmonisan hidup di antara dua budaya yang berbeda.

Katharina, dengan ciri khas bahasa Solo yang kental, menyajikan pandangannya yang kritis dan tidak setuju dengan isu tertentu melalui pendekatan yang santai dan penuh humor. Buku ini terasa ringan dan menghibur, membuat saya tidak terlalu memperhatikan aspek-aspek mendalam dari isi bukunya.

Setelah menyelesaikan buku ini, saya menjadi penasaran tentang apa yang akan Katharina tulis selanjutnya. Apakah dia akan terus mengeksplorasi tantangan yang dihadapi oleh anak-anak blasteran dan orang asing di Indonesia, atau mungkin dia akan beralih ke topik lain?

Karena buku ini sangat menonjolkan aktivisme blasteran, saya khawatir pembaca mungkin akan mulai merasa jenuh dengan tema yang sama yang terus-menerus diangkat. Saya juga berpikir bahwa Katharina mungkin akan kehabisan pengalaman pribadi untuk dibagi jika dia terus menulis tentang hal yang sama.

Kritik saya terhadap buku ini adalah bahwa mungkin sudah terlalu banyak pengalaman pribadi Katharina yang diungkapkan, mengingat usianya yang masih muda, di awal 20-an. Jika dia terus mengungkapkan semua pengalamannya, dia mungkin akan mencapai titik jenuh.

Saya berharap, dalam perjalanan kepenulisannya, Katharina akan menemukan kembali dirinya, entah itu dengan mengeksplorasi isu baru atau gaya penulisan yang berbeda. Mungkin dia akan mencoba menulis buku yang lebih serius atau akademis. Ini adalah pertimbangan penting bagi Katharina jika dia ingin melanjutkan karier sebagai penulis.

Willy Bordus