Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ernisa Nisa
'Ilustrasi buku 'Happiness Battle' (Gramedia)

"Happiness Battle," sebuah karya Joo Youngha dari Korea Selatan, mengisahkan sejumlah ibu dari kalangan atas yang mendiami apartemen mewah High Prestige. Mereka, yang terbiasa dengan kemewahan dan status sosial tinggi, menemukan bahwa sekadar memperlihatkan kekayaan tidak lagi memadai untuk menonjol di lingkungan mereka. Sebagai gantinya, mereka berlomba-lomba memamerkan kebahagiaan keluarga—mulai dari kasih suami hingga keharmonisan dengan mertua—melalui media sosial, berharap mendapat pujian dan membuat iri para pesaing.

Kisah ini berawal dari penemuan tragis sebuah pasangan suami istri; sang suami terluka parah karena ditikam, sementara sang istri ditemukan meninggal tergantung di balkon. Jang Mi-ho, yang membaca tentang tragedi ini, mengenali korban wanita sebagai Oh Yoo-jin, teman SMA-nya. Dikuasai rasa bersalah dan penyesalan atas insiden masa lalu dengan Yoo-jin, Mi-ho bertekad mengungkap kebenaran di balik kasus ini.

Dalam penyelidikannya, Mi-ho bertemu dengan Hangjie, seorang ibu dalam lingkaran sosial Yoo-jin, yang memberikan perspektif baru: pembunuhan sering kali didorong oleh uang atau cinta, namun emosi yang lebih kompleks seperti cemburu, simpati, atau keinginan berkuasa juga dapat menjadi pemicu.

Judul buku ini menarik perhatian saya karena absurditas konsep kebahagiaan yang dipertaruhkan. Bagaimana mungkin menentukan siapa pemenang dalam perang kebahagiaan? Setiap orang memiliki standar kebahagiaan yang berbeda, namun buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana kita sering terjebak membandingkan kebahagiaan kita dengan orang lain.

Dalam 'perang' ini, kemenangan terasa rapuh dan sulit untuk ditentukan—apakah kita benar-benar bahagia, atau hanya merasa menang ketika orang lain tampak menderita? Dalam "Happiness Battle," seorang dosen berkata, "Kesedihan lebih mudah dirasakan daripada kebahagiaan. Kebahagiaan itu abstrak, sedangkan kesedihan itu konkret."

Novel ini, yang terdiri dari 295 halaman, dibagi menjadi tiga bab, ditambah prolog dan epilog, langsung menarik perhatian pembaca dengan ketegangan yang dibangun sejak awal, terutama saat terjadi interaksi antara seorang anak di TK International Heritage dengan guru bernama Joara. Pengalaman membaca yang mendebarkan ini membuat saya menyelesaikan buku dalam dua sesi karena penasaran.

Namun, saya masih bertanya-tanya tentang kekuatan motif di balik pembunuhan yang terjadi. Ketika alasan sebenarnya terungkap, saya merasa masih ada alternatif lain yang lebih baik daripada mengambil nyawa. Novel ini bukan sekadar tentang pertarungan untuk kebahagiaan, melainkan pencarian Mi-ho akan kebahagiaan yang hilang karena trauma masa lalu.

Di akhir cerita, saya diingatkan bahwa setiap orang memiliki definisi kebahagiaan yang unik. Membandingkan kebahagiaan kita dengan orang lain atau berharap orang lain gagal menemukan kebahagiaannya hanya akan menghalangi kita merasakan kebahagiaan sendiri. Seperti Mi-ho, tindakan yang kita lakukan demi kebahagiaan orang lain seringkali merupakan upaya menebus kekosongan dalam diri kita. Saya merasa puas dengan novel ini dan merekomendasikannya bagi pencinta genre thriller yang mencari kebahagiaan melalui membaca.

Ernisa Nisa