Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Alexander Joy
Ilustrasi buku Silence (Gramedia)

Novel "Silence" karya Shusaku Endo adalah sebuah karya fiksi sejarah yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1996. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2008.

Sebelum membaca buku ini, saya telah menonton adaptasi filmnya yang diarahkan oleh Martin Scorsese dan dibintangi Andrew Garfield pada tahun 2016. Ini memberikan saya pemahaman awal tentang cerita tersebut. Namun, pengalaman membaca bukunya memberikan dampak emosional yang mendalam.

Dua minggu setelah menyelesaikan buku, saya masih merasakan efek emosionalnya. Saya terus memikirkan tantangan yang dihadapi oleh karakter utama hingga akhir cerita.

Ceritanya berpusat pada seorang pastor asal Portugal yang berusaha menyebarkan agama Kristen di Jepang. Ini terjadi selama periode ketika negara tersebut sedang giat menghapuskan ajaran Kristen.

Latar belakang historis novel ini adalah Jepang pada era Edo di abad ke-17, di bawah pemerintahan shogun Tokugawa. Pada waktu itu, Kristen telah berkembang di Jepang dengan perkiraan 300.000 pengikut.

Kristen dibawa oleh misionaris dari Eropa seperti Portugal, Spanyol, dan Belanda. Mereka memiliki hubungan dagang dan politik dengan Jepang. Awalnya, hubungan antara pemerintah dan umat Kristen berjalan damai.

Namun, situasi berubah setelah pemberontakan Shimabara pada tahun 1637. Pemberontakan ini dipicu oleh peningkatan pajak yang memberatkan rakyat. Pemberontakan ini diakhiri dengan penangkapan dan eksekusi sekitar 37.000 pemberontak, kebanyakan dari mereka adalah umat Kristen.

Setelah itu, Kristen dinyatakan sebagai ajaran yang dilarang dan dianggap mengancam stabilitas negara. Kisah dalam novel ini berlangsung tidak lama setelah pemberontakan Shimabara.

Tokoh utama bernama Sebastian Rodrigues, seorang pastor muda yang merasa terpanggil untuk pergi ke Jepang. Di sana, ia bertemu dengan Kakure Kirishitan, atau 'Kristen tersembunyi'.

Mereka merupakan umat Kristen yang mempraktikkan agama mereka secara rahasia. Ini dilakukan untuk menghindari penangkapan dan penyiksaan.

Pemerintah memberikan dua pilihan kepada umat Kristen: murtad atau mati. Mereka yang ingin tetap hidup harus menginjak fumie. Fumie adalah pelat batu dengan ukiran wajah Kristus atau Bunda Maria, sebagai tanda penyangkalan agama mereka.

Bagi mereka yang menolak untuk murtad, mereka akan menghadapi hukuman yang kejam. Meskipun situasi di Jepang sangat berbahaya bagi umat Katolik, Sebastian Rodrigues tetap bertekad untuk pergi ke sana.

Bahkan ketika pemimpin gerejanya telah melarangnya. Bagi Sebastian, larangan tersebut menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa Tuhan selalu bersamanya.

Rumor tentang mantan mentornya yang murtad adalah tidak benar. Seorang pastor senior yang telah menderita siksaan dan akhirnya murtad dengan menginjak fumie, meninggalkan agama Kristen.

Ini adalah contoh dari tantangan yang dihadapi Sebastian. Namun, tekadnya tidak goyah, dan ketika dia tiba di desa Tomogi, dia disambut dengan hangat sebagai pembawa kabar baik dari surga.

Masa-masa awal yang menyenangkan di Jepang berakhir dengan pahit. Ini terjadi ketika Sebastian menyaksikan bukan dirinya yang disiksa, melainkan para jemaatnya.

Pemerintah Jepang menerapkan strategi baru dengan menyiksa umatnya. Mereka mengetahui bahwa seorang pastor akan lebih cepat menyerah jika melihat penderitaan umatnya daripada jika dia sendiri yang disiksa.

Shusaku Endo, melalui novelnya, mengeksplorasi tema keyakinan yang dihadapkan pada kenyataan. Kenyataan yang sering kali bertentangan dengan harapan.

Sebastian Rodrigues harus mengakui bahwa kenyataan yang dia hadapi tidak sesuai dengan apa yang dia percayai sebagai rencana Tuhan. "Silence", atau keheningan, adalah jawaban yang dia terima atas doa dan pertanyaannya.

Dia menunggu tanda dari Tuhan, namun semakin lama dia menunggu, semakin dia menyadari bahwa tidak ada mukjizat yang akan terjadi. Keheningan Tuhan adalah satu-satunya jawaban yang dia terima.

Endo tidak mengkritik Tuhan atau agama Kristen dalam novel ini. Melainkan mengundang pembaca untuk merenungkan kembali konsep keimanan itu sendiri.

Dia menggambarkan perjuangan yang tidak hanya milik umat Kristen, tetapi juga semua agama dan keyakinan yang berdasarkan iman. Meskipun tema novel ini mungkin berat dan tidak cocok untuk semua orang.

Terutama dengan penggunaan kata 'siksa' yang berulang. Namun, pesan pentingnya adalah dampak yang ditransfer ke pembaca.

Setelah membaca novel ini, saya tidak merasa menjadi lebih beriman. Tetapi saya mendapatkan perspektif baru yang mencerahkan tentang hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan.

Ini juga mengubah pemahaman saya tentang kehidupan. Saya juga mulai mempertanyakan, "Mengapa Tuhan menciptakan penderitaan dan kejahatan di dunia ini?"

Jika Anda ragu untuk membaca novel ini, saya menyarankan untuk menonton filmnya terlebih dahulu. Film "Silence" yang dibintangi oleh Andrew Garfield sangat setia pada novelnya.

Saya yakin akan membuat Anda penasaran untuk mengeksplorasi lebih dalam pergulatan batin Sebastian Rodrigues. Sebagai penutup, saya ingin membagikan kutipan dari novel yang berbunyi:

"Apapun situasinya, tidak ada manusia yang bisa sepenuhnya bebas dari keangkuhan." Ini menunjukkan bahwa Shusaku Endo melalui tokoh Sebastian ingin menyampaikan bahwa iman tidak hanya tentang keselamatan pribadi.

Tetapi juga tentang bagaimana iman dapat mempengaruhi orang lain. Kita harus berhati-hati agar apa yang kita anggap sebagai iman tidak menjadi ego pribadi yang memberi ilusi sebagai sosok juru selamat atau orang suci.

Alexander Joy