Film Kingdom of the Planet of the Apes tayang di bioskop-bioskop Tanah Air sejak 8 Mei 2024, dan masih saja menyedot perhatian di tengah-tengah gempuran film-film horor dalam negeri. Ini adalah film sci-fi action, yang nggak pernah disangka-sangka bakal dibuat. Disutradarai oleh Wes Ball dan ditulis oleh Josh Friedman, film ini menjadi sekuel mandiri dari Film War for the Planet of the Apes (2017), dan bisa dianggap sebagai soft reboot waralaba “Planet of the Apes”.
Film berdurasi 145 menit, yang kebanyakan menampilkan sosok kera, kisahnya terjadi hampir 300 tahun setelah peristiwa dramatis pada Film War for the Planet of the Apes (2017). Nah, di sini peradaban kera bangkit dan dipimpin oleh Proximus Caesar (Kevin Durand). Sayangnya, peradaban manusia justru sebaliknya. Manusia-manusia jadi liar, primitif, kedudukan mereka ada di bawah kera. Manusia jadi begitu karena adanya pandemi yang dulu terjadi, (wajib nonton installment pertama, awal mulanya Caesar bisa bicara dan jadi seperti manusia).
Konflik muncul ketika Proximus Caesar, pemimpin kera yang menyimpang dari ajaran Caesar (Andy Serkis), memutuskan untuk memperbudak klan kera lainnya dalam upaya mencari teknologi manusia yang legendaris.
Dalam situasi ini, ada sosok simpanse muda bernama Noa (Owen Teague). Noa bersama Soona (Lydia Peckham), dan Anaya (Travis Jeffrey), mereka tinggal bareng di komunitas kera bernama Klan Elang. Suatu ketika, mereka bertemu dengan perempuan misterius bernama Mae (Freya Allan). Semenjak itu petualangan mereka semakin seru.
Ulasan:
Nonton "Kingdom of the Planet of the Apes" nggak perlu khawatir tentang plot rumit yang harus ditonton dengan pikiran ekstra. Serius, kisahnya itu simpel banget. Saking ringan dan biasa, habis nonton aku cuma komentar, “Oh, gitu doang.”
Nggak buruk. Biar pun dibikin sesederhana mungkin, tapi masih punya daya tariknya. Yang paling mencolok itu, saat kamu bisa nonton dan menikmati film ini tanpa perlu nonton film-film sebelumnya. Meskipun ada sedikit referensi ke film sebelumnya, tapi ceritanya tetap mudah dipahami bagi yang baru tahu ada film beginian. Jadi, kamu bisa bebas memilih, mau nonton film-film sebelumnya atau nggak, tetap nggak akan terlalu berpengaruh kok. Kenapa begitu? Lanjut baca saja sampai akhir.
Aspek yang paling mengesankan dari film ini adalah penggambaran yang terlihat realistis dari para kera. Efek CGI yang digunakan bikin penampilan mereka terlihat nyata dan hidup di layar. Sinematografi yang diperlihatkan juga cantik banget. Pokoknya sangat memanjakan mata.
Omong-omong soal kisahnya yang sederhana itu. Kayaknya, memang sengaja dibuat begitu untuk mempersiapkan kelanjutan cerita di masa mendatang (anggaplah biar nggak kehabisan stok cerita). Hanya saja, jadi sangat disayangkan. Yang kulihat dari karakter Nya kayak kurang dikembangkan sebagai bagian karakter sentral. Kharismanya masih belum sepenuhnya meyakinkan dirinya punya aura pemimpin gitu. Semoga saja di film berikutnya ada fase transformasi dan pendewasaan karakternya.
Bahkan untuk durasi film yang panjang, sejujurnya itu tantangan. Meskipun ada banyak aksi yang terjadi, ada beberapa bagian yang terasa agak kendur, terutama di awal film. Namun, setelah agak bersabar sekian puluh menit, ketika ada karakter manusia muncul (Kae), saat itulah tensi dan plotnya jadi lumayan enjoy buat diikuti.
Kekurangan lainnya terkait minimnya penjelasan yang jelas terkait dengan latar belakang ‘klan-klan’ yang muncul dalam film. Hal ini membuat beberapa aspek, seperti kebiasaan dan dinamika antar klan terasa kurang terjelaskan. Jadi ada semacam ‘hole’ yang seharusnya dikupas lebih dalam pada film lanjutannya (jika jadi dibuat).
Pokoknya ada semacam twist, yang menurutku agak kurang kuat motifnya. Namun, setidaknya itu menjadi keseriusan tersendiri. Skor dariku: 7/10. Film ini masih tayang di bioskop-bioskop Tanah Air dan seharusnya kamu nggak melewatkannya. Selamat nonton ya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Review Film Eddington: Paranoia Massal dan Satir Gelap Ala Ari Aster
-
Review Film Smurfs: Petualangan Baru dan Sihir yang Nggak Lekang Oleh Zaman
-
Review Film Sentimental Value: Ladang Luka Lama yang Belum Sembuh
-
Review Series One Night in Idaho: Dokumenter True Crime Menolak Eksploitasi
-
Review Film The Sound: Jerit Horor yang Kehilangan Gaungnya
Artikel Terkait
-
Sinopsis The Offering, Film Horor yang Sarat akan Mitologi Yunani
-
Film Dilan 1983 Wo Ai Ni Diprotes Gegara Usung Cinta Anak SD, Ini Penjelasan Fajar Bustomi
-
Susul Dahyun TWICE, Jung Jinyoung Digaet Main 'You Are The Apple of My Eye'
-
Film Dilan 1983 Wo Ai Ni Rilis Trailer Perdana, Hadirkan Kisah di Masa SD Hingga Gombalan yang bikin Gemas
-
Dahyun TWICE Digaet Bintangi Film 'You Are the Apple of My Eye' Versi Korea
Ulasan
-
Review Toko Jajanan Ajaib Zenitendo: Atasi Reading Slump dalam Sekali Duduk
-
Ulasan Buku Anak-Anak Kota Lama: Potret Sosial dalam Latar Budaya yang Beragam
-
Ulasan Buku Maneki Neko: Rahasia Besar Orang Jepang Mencapai Keberuntungan
-
Ulasan Novel Miss Wanda: Duka dan Cinta Bisa Hidup Bersamaan
-
Ulasan Novel Sonnenblume: Bunga Matahari yang Tak Pernah Minta Melupakan
Terkini
-
Persita Tangerang Terus Bangun Kekompakan, Carlos Pena Buka Suara
-
Realme 15 Pro Rilis 24 Juli, Berikut Bocoran Spesifikasi dan Fitur Utamanya
-
Gaung Gamelan: Simfoni Ratusan Penabuh Gamelan Membuka Yogyakarta Gamelan Festival ke-30
-
Bye Mata Panda, Ini 4 Pilihan Eye Cream Harga Murah di Bawah Rp50 Ribuan!
-
Manga Hirayasumi Umumkan Adaptasi Anime dan Live Action Sekaligus