Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Alexander Joy
I, The Executioner (MDL)

"Don't cross the line". Kalimat tersebut ada di poster film yang merupakan lanjutan dari Veteran (2015) ini.

Tapi bukankah "melewati batas" adalah sesuatu yang sering dilakukan protagonis di film pertama?

Benar, dan salah satu keunggulan I, the Executioner adalah bagaimana tindakan si tokoh utama yang ambigu secara moral, kini berbalik "menggigit" dia.

Alurnya tetap berfokus pada unit investigasi kejahatan kekerasan yang melibatkan Seo Do-cheol (Hwang Jung-min). Kali ini mereka memburu seorang pembunuh berantai.

Bukan pembunuh berantai biasa, melainkan sosok yang mendapat dukungan publik karena ia mengeksekusi pelaku kejahatan yang gagal diadili secara setimpal oleh hukum.

Sebagai tambahan amunisi, Do-cheol merekrut Park Sun-woo (Jung Hae-in), polisi muda ahli beladiri.

Di luar dugaan, I, the Executioner bukan hanya sekadar blockbuster kosong.

Naskah yang ditulis oleh sutradara Ryoo Seung-wan bersama Lee Won-jae membawa Do-cheol pada perenungan tentang dosa-dosa masa lalunya.

Si polisi veteran yang dulu membenarkan kekerasan terhadap penjahat dan tidak ragu menyogok jurnalis untuk mendapatkan informasi, kini mendapati tindakan-tindakan tersebut berbalik merugikannya.

Si pembunuh menggunakan budaya media sosial untuk menggiring opini publik tentang pembenaran tindak kekerasan, sementara jurnalis (Shin Seung-hwan) yang kini menjadi YouTuber berbalik menyudutkannya.

Perenungan tentang garis pemisah antara benar dan salah semakin menarik dengan tambahan elemen misteri, yang dengan cerdik akan membuat penonton terus meragukan analisis mereka tentang identitas pelaku meskipun semua fakta sudah terungkap di depan mata.

Walau begitu, penceritaannya masih jauh dari sempurna.

Serupa kelemahan film pertama, Ryoo Seung-wan masih kurang mahir menjaga intensitas saat adegan aksi tidak ada di layar.

Kisahnya sangat ambisius sehingga tidak menyisakan ruang untuk eksplorasi beberapa subplot, termasuk konflik antara Do-cheol dan putranya, Woo-jin (Byun Hong-jun), yang telah memasuki usia remaja dan sering terlibat perkelahian di sekolah.

Patut disayangkan, karena konflik yang menyentil dampak pola asuh buruk (di film pertama Do-cheol membenarkan anak laki-laki yang suka berkelahi) serta kecenderungan depresi pada remaja ini memiliki relevansi yang cukup tinggi.

Lain halnya jika membicarakan aksi.

Dibantu oleh tata kamera Choi Young-hwan yang membuat film ini terlihat megah tanpa bergantung pada efek komputer, serta lagu temanya yang ikonik dan mampu memacu adrenalin, Ryoo Seung-wan menunjukkan bagaimana menyulap ide aksi generik menjadi lebih segar.

Contoh terbaiknya terlihat pada baku hantam di atap gedung dengan latar hujan deras yang tersaji epik.

Seperti Veteran, di sini Ryoo Seung-wan seolah menyalurkan kecintaannya terhadap karya-karya Jackie Chan dengan mendorong karakternya hingga batas kemampuan fisik mereka, dari berlarian di tengah keramaian kota hingga melakukan berbagai gerakan parkur berbahaya.

Di tengah serbuan blockbuster yang dipenuhi efek komputer, I, the Executioner dengan semangat punk rock liar tampil sangat menyegarkan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Alexander Joy