Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Potret band Sukatani.[Instagram/@sukatani.punk & @noisaresip]

Punk sebagai genre musik yang mengusung idealisme kesetaraan masyarakat memiliki hubungan erat dengan semangat perlawanan terhadap penindasan.

Banyak band punk yang mengungkapkan pandangan progresif dalam lagu-lagu mereka, menjadikan musik bukan sekadar hiburan, tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan kepada publik.

Musik berfungsi sebagai refleksi dari perasaan, pandangan, dan aspirasi yang mendesak untuk perubahan.

Di tengah hiruk-pikuk industri musik di Indonesia, aliran Post-Punk muncul sebagai inovasi baru. Aliran ini merupakan perkembangan dari Punk Rock yang muncul pada akhir tahun 1970-an, di mana band-band Post-Punk mempertahankan akar punk sambil bereksperimen dengan unsur-unsur musik seperti Gothic, Disco, Funk, dan Krautrock. 

Di Indonesia, terdapat band yang dikenal sebagai punk agraria, yang menyuarakan protes melalui tindakan nyata, salah satunya adalah Sukatani, band punk new wave asal Purbalingga, Jawa Tengah.

Duo musisi yang tampil dengan wajah tertutup balaclava ini sering membagikan sayuran saat penampilan mereka. Aransemen lagu mereka memiliki nuansa new wave yang kaya dan menarik.

Sukatani, terdiri dari AL (Alectroguy) sebagai gitaris/produser dan Ovi (Twister Angel) sebagai vokalis, aktif dalam gerakan sosial dan lingkungan.

Ini menunjukkan bahwa musik punk lebih dari sekadar kebisingan; ia juga menyampaikan pesan yang berarti bagi masyarakat.

Banyak band juga menyuarakan protes melalui tindakan nyata, seperti yang dilakukan Thurston Moore dari Sonic Youth dan Rage Against The Machine.

Pada 24 Juli 2023, Sukatani merilis album pertama mereka secara digital dengan judul “Gelap Gempita”, yang berisi delapan lagu, termasuk "Sukatani," "Bayar Bayar Bayar," dan "Gelap Gempita."

Album ini menampilkan musik Post-Punk dengan sentuhan New Wave yang kuat, memadukan nada-nada gelap dari Gothic-Rock dengan melodi New Romantic dan keceriaan Synth-Pop.

Lirik-liriknya mengangkat isu sosial dan lingkungan yang dekat dengan realitas masyarakat Purbalingga, serta mengintegrasikan dialek Banyumasan dalam beberapa lagu, menambah kekayaan karya mereka.

Album ini membahas berbagai isu sosial, politik, dan lingkungan. Lagu pembuka, "Sukatani," menggambarkan hubungan band dengan para petani, mengekspresikan rasa terima kasih atas kontribusi mereka dalam menjaga ketahanan pangan dan lingkungan.

Dalam lagu "Bayar Bayar Bayar," Sukatani mengangkat isu korupsi dan pungutan liar di kepolisian, mencerminkan dampak negatif dari praktik-praktik tersebut terhadap kepercayaan publik.

Melalui lagu "Alas Wirasaba," mereka membahas dampak pembangunan infrastruktur terhadap lingkungan, menggambarkan nostalgia masa kecil di hutan yang kini telah berubah menjadi bandara.

Lagu ini mengingatkan pendengar akan pentingnya hutan dan dampak pembangunan yang merusak alam. Di lagu "Realitas Konsumerisme," Sukatani mengkritik pola hidup konsumerisme yang muncul akibat globalisasi, yang menciptakan ketimpangan sosial.

Di lagu penutup, "Gelap Gempita," Sukatani menyampaikan pesan perlawanan terhadap pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Album ini adalah karya yang patut diapresiasi karena keberanian Sukatani dalam mengkritik isu-isu sosial, politik, dan lingkungan yang dekat dengan kehidupan mereka.

Sukatani membawa angin segar bagi industri musik Indonesia dengan musik yang unik dan lirik yang penuh makna, mengajak masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan positif.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Yayang Nanda Budiman