Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Fathorrozi 🖊️
Buku Obrolan Sukab karya Seno Gumira Ajidarma (Goodreads)

Tahun baru 2025 kian tampak di depan mata. Sebentar lagi akan bergemuruh kita ucapkan "Selamat tinggal 2024, selamat datang 2025." Seiring dengan menyambut tahun 2025 dan melepas tahun 2024, kita lantunkan doa, semoga di tahun 2025 nanti hidup kita semakin baik dalam segala hal dari tahun yang telah kita lewati di 2024.

Berbicara perkara tahun baru, terdapat buku karya Seno Gumira Ajidarma bertajuk Obrolan Sukab yang senada dengan tema ulasan kali ini. Sukab bersama teman-temannya sesama warga negara kelas bawah yang merdeka ini ngobrol seputar kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali soal tahun baru.

Tanggal 1 Januari, pagi-pagi Sukab sudah nangkring di warung Mang Ayat, yang tetap buka meski hari libur, karena tahu betul Jakarta penuh sesak dengan manusia yang tidak masak di rumah. Sukab juga tidak pernah masak, terutama karena memang tidak punya rumah.

Tidak punya rumah bukan berarti Sukab menyewa apartemen, tinggal di hotel seperti Iwan Simatupang, masih mengontrak rumah atau masih indekos sebagaimana layaknya orang yang belum punya rumah. Bukan. Sukab tidak punya apa pun kecuali dirinya sendiri. (Halaman 1).

Dengan tokoh andalannya yang bernama Sukab, Seno Gumira Ajidarma di buku ini menceritakan tentang suasana orang-orang kalangan bawah di kota Metropolitan dalam berbagi obrolan dengan beragam tema, termasuk tahun baru.

Dalam mengobrol, Sukab ditemani tokoh-tokoh lain, seperti Mang Ayat pemilik warung, Bahlul tokang obat, Dul Kompreng kernet mikrolet, Jali tukang ojek, Hasan buruh bangunan, Mamik penjaja kopi saset, dan Rohayah tukang sapu gedung tinggi. Ada pula Vincent yang biasa mereka panggil Abang Dosen karena pekerjaannya memang mengajar.

Dalam mengobrol tahun baru, Sukab tiba-tiba membuka kopiah bututnya, lalu menggoyang-goyangkan kepalanya dengan keras, saat ditanya apa yang hendak dikerjakan pada tahun baru? Dengan jawaban agak panjang, Sukab kemudian memberi jawaban panjang kali lebar.

"Begini Mang, soal Taon Baru, gue kagak ngerti kenape kite musti ngapa-ngapain kalok Taon Baru. Apaan tuh Taon Baru? Coba pikir, tanggal 1 Januari, yak, tanggal 1 Januari, emangnye kenape tuh 1 Januari? Tanggal 1 kan cuma hari ke-366 nyang dijadikan hari ke-1 lagi kan? Kurang kerjaan! Bola bumi muter-muter maunya sendiri, gejala alamnye diitung-itung, dipas-pasin, lantas dikasih nama nyang gue kagak tau kenape mesti gue ikut-ikutin juga. Iya kan? Muter 31 kali dinamain Januari, muter 28 atawa 29 kali dinamain Februari, muter 31 kali dinamain Maret. Kenape nggak dinamain Paimo?" (Halaman 2).

Bahasanya cukup nyaman dan akrab bagi pembaca yang tinggal di daerah sekitar Jakarta, sebab mayoritas percakapannya menggunakan logat Betawi. Namun, ada pula bahasa-bahasa Betawi yang sulit dipahami, meskipun di bagian belakang terdapat glosarium.

Akhirnya, membaca buku ini, seolah kita merasakan bahwa kota Jakarta bukan hanya milik kalangan atas, melainkan juga milik kalangan bawah seperti Sukab, Mang Ayat, Jali, Bahlul, dan kawan-kawannya yang lain. Mereka tak harus berada di kampus, kafe, atau mall untuk berbicara soal isu-isu berat, di warung Mang Ayat yang sangat sederhana pun obrolan tersebut tetap seru dan berlangsung hangat.

Selamat membaca!

Identitas Buku

Judul: Obrolan Sukab

Penulis: Seno Gumira Ajidarma

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Cetakan: I, 2019

Tebal: 230 Halaman

eISBN: 978-602-412-622-3

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Fathorrozi 🖊️