Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Tangkapan layar poster yang diambil dari trailer film Hotel Sakura (youtube.com/HERS PRODUCTION)

Kemarin malam sekitar pukul 21.45 WIB aku dan istri akhirnya menyempatkan waktu buat nonton Hotel Sakura di bioskop CGV BG Junction Surabaya. Setelah maraton nonton film Selepas Tahlil dan Sore: Istri dari Masa Depan, kami udah nggak sabar dan excited banget sejak lihat trailer-nya yang bikin penasaran.

Apalagi, film ini katanya mengusung horor psikologis dengan latar sejarah kelam masa penjajahan Jepang di Indonesia. Jadi, dengan popcorn jumbo di tangan dan harapan besar, kami siap masuk ke dunia seramnya Hotel Sakura. Berikut cerita pengalaman kami dan ulasan lengkapnya!

Begitu masuk studio, suasana bioskop udah bikin deg-degan. Lampu redup, layar lebar, dan penonton yang mulai bisik-bisik soal “hantu Jepang” bikin suasana makin intense. Aku dan istri duduk di baris belakang, posisi strategis buat ngerasain atmosfer filmnya.

Dari awal, kami udah tahu Hotel Sakura bukan horor lokal biasa yang cuma mengandalkan jump scare. Film ini disutradarai Krishto Damar Alam dan Rudy Soedjarwo, dengan naskah dari Upi Avianto, jadi ekspektasi kami cukup tinggi untuk cerita yang matang dan visual yang ciamik.

Hotel Sakura bercerita tentang Sarah (Clara Bernadeth), perempuan muda yang hidupnya diterpa rasa bersalah setelah ibunya meninggal dalam kecelakaan motor waktu dia masih SMP. Trauma ini bikin Sarah terjebak dalam penyesalan yang nggak selesai-selesai.

Dalam usahanya untuk “ketemu” lagi sama ibunya, dia dibujuk temennya, Nida (Taskya Namya), untuk pergi ke sebuah hotel tua di Semarang yang konon angker. Hotel ini dulunya dipakai pasukan Jepang pada masa penjajahan, dan di sinilah Sarah ketemu Setsuko, hantu Jepang yang penuh dendam dan bikin bulu kuduk merinding.

Review Film Hotel Sakura

Tangkapan layar salah satu adegan di trailer film Hotel Sakura (youtube.com/HERS PRODUCTION)

Aku suka banget cara film ini nggak cuma fokus ke horor, tapi juga ngegali emosi Sarah. Clara Bernadeth aktingnya juara, bikin penonton ikut ngerasain kepedihan dan ketakutannya.

Istriku sampai berbisik, “Kasihan banget si Sarah, aku juga bakal gitu kalau kehilangan orang tersayang.”

Nida, yang dimainkan Taskya Namya, membawa vibe ceria yang bikin cerita nggak terlalu kelam, tapi tetap bikin kami deg-degan tiap dia ikut-ikutan memulai ritual gaib bareng Sarah.

Hal yang bikin Hotel Sakura beda dari film horor lokal lainnya adalah pendekatan horor ala Jepang tahun 90-an, seperti Ju-On atau Ring. Bukan cuma jump scare, tapi atmosfer mencekam yang dibangun lelet tapi pasti.

Suara-suara kecil, bayangan di sudut layar, dan lighting yang kelam bikin aku sama istri nggak bisa lelet-lelet ngelupain popcorn.

Setsuko, hantu Jepang yang dimainkan Shindy Huang, bener-bener bikin ngeri. Dia nggak cuma seram secara visual, tapi cerita di balik karakternya—luka batin dan trauma masa perang—bikin kami mikir, “Ini hantu, tapi kok aku kasihan juga?”

Aku sempat nanya ke istri, “Kamu takut nggak sih?” Dia cuma nyengir sambil megang tanganku erat-erat pas adegan Sarah masuk lorong gelap di hotel. Lokasi hotel tua di Semarang yang jadi setting utama bener-bener dapet banget.

Katanya, hotel ini beneran ada dan punya sejarah kelam dari masa penjajahan Belanda dan Jepang. Fakta ini bikin kami tambah merinding, apalagi pas produser bilang ada gangguan spiritual waktu syuting!

Salah satu kelebihan Hotel Sakura adalah cara mereka mencampurkan unsur sejarah sama horor. Film ini nggak cuma soal hantu, tapi juga mengingatkan kita tentang kekejaman masa penjajahan Jepang, termasuk cerita soal prajurit yang melakukan harakiri karena nggak terima Jepang menyerah ke Sekutu.

Ini bikin film terasa lebih dalam, nggak cuma menakut-nakutin doang. Istriku, yang biasanya nggak terlalu suka film sejarah, malah bilang, “Keren sih, horornya sambil belajar sejarah.”

Selain Clara dan Taskya, ada juga aktor senior seperti Donny Damara dan Tio Pakusadewo yang menambah bobot cerita. Visualnya juga patut diacungin jempol. Sinematografi dan sound design-nya bikin suasana hotel tua itu hidup, sampai-sampai aku merasa seperti ikut menginap di sana.

Tapi, kalau boleh jujur, ada beberapa plot twist yang agak terburu-buru, bikin aku sama istri sedikit bingung di bagian akhir. Mungkin karena durasinya cuma 1 jam 40 menit, jadinya beberapa konflik terasa cepet diselesaikan.

Secara keseluruhan, Hotel Sakura adalah pengalaman horor yang beda. Bukan cuma bikin takut, tapi juga bikin mikir soal trauma, penyesalan, dan sejarah.

Aku dan istri pulang dari bioskop dengan perasaan campur aduk—merinding, baper, tapi puas. Buat yang suka horor psikologis dengan sentuhan budaya Jepang dan Indonesia, film ini wajib banget masuk watchlist-mu. Harganya juga worth it kok, tiket reguler di Surabaya sekitar Rp30.000-Rp35.000.

Kalau kamu mau nonton bareng pasangan sepertiku, siap-siap pegangan tangan pas adegan seramnya. Oh ya, istriku sampai ngomong, “Jangan nginep di hotel tua sembarangan, ya!” sambil ketawa.

Hotel Sakura berhasil bikin kami nggak cuma takut, tapi juga ngobrol panjang tentang cerita dan emosinya sepanjang perjalanan pulang. Jadi, tunggu apa lagi? Buruan cek jadwal di bioskop terdekat dan rasain sendiri kengerian Setsuko!

Ryan Farizzal