Novel Belenggu karya Armijn Pane merupakan salah satu karya sastra yang merepresentasikan konflik batin, pergeseran nilai, dan dinamika sosial di Indonesia pada masa peralihan dari tradisional ke modern. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1940 dan menjadi pelopor sastra modern Indonesia dengan gaya penceritaan yang berbeda dari novel-novel sebelumnya.
Dalam analisis ini, novel Belenggu dikaji menggunakan pendekatan wacana kritis, khususnya dalam perspektif ideologi gender untuk melihat bagaimana kekuasaan, dominasi, dan ketimpangan gender direpresentasikan dalam teks. Pendekatan ini akan mengacu pada teori wacana kritis Teun A. van Dijk, yang melihat teks sebagai alat ideologis yang dapat mereproduksi atau menantang ketimpangan sosial.
Dalam novel ini, wacana tentang peran perempuan dan laki-laki dibangun melalui karakterisasi tokoh utama, terutama Sumartini dan Rohayah. Sumartini digambarkan sebagai perempuan modern yang aktif di luar rumah, tetapi sikapnya justru dianggap sebagai penyebab ketidakbahagiaan dalam rumah tangga.
Sementara itu, Rohayah yang lebih penurut dan mengutamakan kebahagiaan Sukartono dianggap sebagai sosok yang "lebih ideal." Kontras ini mencerminkan konstruksi patriarki dalam teks, di mana perempuan yang menempatkan diri dalam ranah domestik lebih diterima oleh masyarakat dibanding perempuan yang menuntut kebebasan.
Menurut van Dijk (1993), wacana tidak hanya sekadar teks, tetapi juga alat untuk membentuk dan mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Dalam Belenggu, dominasi laki-laki terlihat jelas dalam karakter Sukartono yang, meskipun berpendidikan tinggi, tetap memiliki pandangan konservatif terhadap peran istri. Ia merasa berhak mencari kebahagiaan di luar pernikahan tanpa mempertimbangkan perasaan Sumartini.
Hal ini menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan dalam rumah tangga masih didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan yang mencoba keluar dari norma justru dianggap sebagai penyebab permasalahan. Wacana dalam novel ini secara tidak langsung mereproduksi ideologi patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat.
Namun, Belenggu tidak sekadar memperkuat norma patriarki, tetapi juga secara implisit memberikan kritik terhadap sistem tersebut. Konflik yang dialami Sumartini dan Sukartono menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sebenarnya terbelenggu oleh ekspektasi sosial yang membatasi peran mereka. Sukartono, meskipun memiliki kuasa dalam relasi sosial, tetap merasa tertekan oleh norma bahwa laki-laki harus menjadi pusat dalam rumah tangga. Sementara itu, Sumartini yang berusaha mendobrak batasan tradisional tetap terhambat oleh stereotip gender yang melekat dalam masyarakat.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini juga mencerminkan ketimpangan gender. Misalnya, ketika Sukartono merasa tidak nyaman dengan Sumartini, ia sering menggunakan bahasa yang menunjukkan superioritas laki-laki, seperti menyalahkan Sumartini atas kegagalan rumah tangga mereka. Sebaliknya, Rohayah digambarkan dengan bahasa yang lebih lembut dan penuh kepasrahan, seolah-olah mengafirmasi bahwa peran ideal perempuan adalah tunduk kepada laki-laki. Analisis ini sejalan dengan teori Fairclough (1989) yang menyatakan bahwa bahasa dalam teks sering kali mencerminkan dan mempertahankan struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Analisis wacana kritis terhadap novel Belenggu menunjukkan bahwa karya ini tidak hanya mengisahkan konflik rumah tangga, tetapi juga merefleksikan bagaimana ideologi patriarki mempengaruhi peran gender dalam masyarakat. Sumartini sebagai perempuan modern dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas rumah tangga tradisional, sementara Sukartono sebagai laki-laki tetap memiliki kuasa dalam menentukan kebahagiaan pribadinya. Namun, novel ini juga mengandung kritik tersirat terhadap sistem patriarki, di mana baik laki-laki maupun perempuan sebenarnya terbelenggu oleh norma-norma sosial yang membatasi kebebasan mereka.
Dengan menggunakan perspektif wacana kritis, kita dapat memahami bahwa Belenggu bukan hanya sekadar kisah cinta segitiga, tetapi juga sebuah refleksi sosial yang menggambarkan bagaimana bahasa dan struktur teks dapat mereproduksi atau menantang ketimpangan gender dalam masyarakat. Novel ini tetap relevan hingga kini sebagai bahan kajian tentang ideologi gender dalam sastra Indonesia.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Review Novel 'Fathers and Sons': Benturan Generasi yang Tak Terhindarkan
-
Ulasan Novel Catching Fire (Tersulut): Penuh Momen Epik dan Intrik Politik
-
Benarkah Jumlah Buku yang Dibaca Menunjukkan Karakter Seseorang?
-
Ulasan Novel Bibi Gill: Dari Perempuan Rapuh Menjadi Perempuan yang Kuat
-
Kelamnya Korupsi dan Kesenjangan Sosial: Review Novel 'Senja di Jakarta'
Ulasan
-
Hillpark Sibolangit, Dilengkapi Ragam Wahana Permainan Cocok untuk Keluarga
-
Ulasan Film Horor 'Kemah Terlarang: Kesurupan Massal': Seram, tapi Kok Agak Nanggung?
-
Stop Galau! Ulasan Buku Your Next Step: Panduan Menghadapi Masa Depan
-
Ulasan Film Ditto: Nostalgia Manis dalam Balutan Time Travel
-
Geosite Sipinsur, Tempat Wisata Favorit Pencinta Alam di Tepian Danau Toba
Terkini
-
Miskin di Negara Kaya: Mengapa Ketimpangan Ekonomi Terus Melebar?
-
Segera Tayang di iQIYI, Intip 3 Drama China Romantis yang Siap Bikin Baper
-
Mengungkap Misteri Kuntilanak dalam Film 'Anak Kunti', Berani Nonton?
-
3 Rekomendasi Film Terbaik yang Dibintangi Shenina Cinnamon, Sudah Nonton?
-
Comeback Solo! Yuta NCT Siap Merilis Single Jepang Baru 'Twisted Paradise'