Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Novel 'Romansa STOVIA' (Gramedia)

Bagaimana jika kesempatan untuk belajar dan meraih impian terhalang oleh batasan yang tidak adil? Bagaimana jika dunia menilai seseorang bukan dari kemampuannya, melainkan dari asal-usulnya? Inilah dilema yang dihadapi para pemuda dalam novel "Romansa STOVIA" karya Sania Rasyid.

Dengan latar Batavia tahun 1918, novel ini bercerita tentang kehidupan empat mahasiswa kedokteran pribumi yang harus menghadapi berbagai tantangan, baik dalam hal pendidikan, persahabatan, maupun cinta.

Dalam novel ini, Yansen dari Minahasa, Hilman dari Sunda, Sudiro dari Jawa, dan Arsan dari Minang bertemu di STOVIA, sekolah kedokteran yang menjadi harapan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan tinggi.

Persahabatan mereka tidak hanya diuji oleh kerasnya dunia akademik, tetapi juga oleh perbedaan latar belakang budaya dan tekanan sosial yang datang dari masyarakat serta sistem kolonial.

Mereka hidup dalam masa di mana kebijakan diskriminatif membatasi peluang pribumi untuk berkembang, sementara harapan dan idealisme terus bertumbuh di dalam diri mereka.

Tema utama yang diangkat dalam novel ini adalah perjuangan melawan ketidakadilan, baik dalam bentuk diskriminasi rasial maupun keterbatasan sosial yang menghambat pendidikan.

STOVIA digambarkan sebagai simbol perubahan, tempat di mana anak-anak muda berusaha membuktikan bahwa mereka mampu berdiri sejajar dengan para dokter Eropa.

Pendidikan menjadi alat perlawanan terhadap sistem yang menekan, sekaligus menjadi jalan menuju kemajuan. Namun, novel ini tidak hanya menampilkan perjuangan akademik, tetapi juga konflik emosional yang dialami oleh para tokohnya.

Ada perasaan ragu, takut gagal, serta dilema moral yang harus dihadapi, terutama ketika cinta dan ambisi bertabrakan dengan realitas yang tidak berpihak.

Novel ini juga menyoroti isu toleransi dan persatuan dalam keberagaman. Empat sahabat ini datang dari daerah yang berbeda, dengan budaya dan kepercayaan yang beragam, tetapi mereka menemukan kekuatan dalam kebersamaan.

Ini menjadi cerminan penting bagi kehidupan saat ini, perbedaan masih sering menjadi sumber konflik. Lewat interaksi mereka, kita sebagai pembaca akan melihat bagaimana perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang bisa membawa perubahan.

Dari segi narasi, "Romansa STOVIA" menawarkan keseimbangan antara fakta sejarah dan fiksi yang emosional. Detail latar Batavia awal abad ke-20 digambarkan dengan kuat, memberikan kesan autentik dan mendalam terhadap kehidupan masyarakat pada masa itu.

Bahasa yang digunakan mudah dipahami, tetapi tetap kaya dengan nuansa sejarah. Meskipun beberapa bagian mungkin terasa lambat, terutama dalam menggambarkan perjalanan akademik para tokohnya, hal ini justru memperkaya pengalaman membaca dan memberikan ruang untuk refleksi.

Novel ini memiliki relevansi yang kuat dengan dunia saat ini, terutama dalam hal pendidikan dan perjuangan melawan ketidakadilan.

Kisah empat mahasiswa STOVIA bukan hanya tentang perjalanan meraih gelar dokter, tetapi juga tentang tekad dan keberanian menghadapi tantangan yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

"Romansa STOVIA" berhasil menghidupkan kembali potongan sejarah yang penting, sekaligus menyampaikan pesan universal tentang semangat juang dan persatuan. Sebuah bacaan yang sangat menginspirasi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta