Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sabit Dyuta
Novel Metamorfosis (Gramedia)

Hidup bisa berubah dalam sekejap, dan sering kali perubahan itu membawa keterasingan. Franz Kafka menggambarkan situasi ini dengan sangat tajam dalam "Metamorfosis", sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana seseorang yang dulu dihargai bisa tiba-tiba menjadi tak diinginkan.

Melalui perubahan drastis yang dialami tokohnya, Kafka menyentil realitas sosial tentang bagaimana manusia dinilai berdasarkan kegunaannya.

Cerita ini mengikuti Gregor Samsa, seorang pria muda yang selama ini bekerja keras demi keluarganya. Namun, suatu pagi ia terbangun dan mendapati dirinya telah berubah menjadi serangga raksasa.

Meski tubuhnya berubah, pikirannya masih manusiawi—ia masih ingin bekerja dan membantu keluarganya. Tapi seiring berjalannya waktu, keluarganya mulai menjauhinya. Mereka yang dulu bergantung padanya kini merasa terganggu dengan keberadaannya.

Kisah Gregor mencerminkan bagaimana dunia melihat manusia berdasarkan apa yang bisa mereka berikan. Selama bisa bekerja dan menghasilkan uang, seseorang dihormati dan dihargai.

Tapi, ketika tidak lagi berguna—baik karena sakit, usia, atau alasan lain—orang-orang di sekitarnya mulai berubah. Rasa sayang yang dulu ada bisa luntur, berganti dengan rasa bosan, marah, bahkan jijik.

Selain berbicara tentang keterasingan, Metamorfosis juga menyinggung bagaimana tekanan ekonomi bisa mengubah hubungan keluarga.

Ketika Gregor masih menjadi pencari nafkah, keluarganya mengandalkannya sepenuhnya. Tapi setelah ia tidak bisa lagi bekerja, mereka terpaksa mencari penghasilan sendiri. Awalnya mereka masih berusaha merawatnya, tetapi lama-kelamaan, keberadaannya justru menjadi beban.

Kafka menggambarkan semua ini dengan cara yang begitu sederhana namun mengena. Perubahan Gregor yang absurd justru terasa begitu nyata karena banyak orang pernah mengalami perasaan diabaikan atau ditinggalkan.

Novel ini memberitahu pembacanya untuk melihat lebih dalam bagaimana kita memperlakukan orang-orang di sekitar kita—apakah mereka dihargai karena keberadaannya, atau hanya karena kegunaannya?

Akhir cerita Gregor menyedihkan, tetapi bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan nyata. Ia mati dalam kesepian, dan keluarganya justru merasa lega.

Novel ini tidak menawarkan jawaban mudah, tapi justru menantang pembaca untuk merenung: apakah kasih sayang kita benar-benar tulus, atau hanya bertahan selama orang tersebut masih bisa memberikan sesuatu?

Lebih dari sekadar kisah fiksi, "Metamorfosis" juga cermin dari dunia yang kita tinggali.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sabit Dyuta