Duo sutradara Joe dan Anthony Russo kembali meramaikan perfilman Hollywood khususnya genre sci-fi melalui Film The Electric State. Film terbaru mereka tayang di Netflix sejak 14 Maret 2025 dan dibintangi Millie Bobby Brown, Chris Pratt, Stanley Tucci, Giancarlo Esposito, termasuk para bintang pendukung lainnya dalam naungan rumah produksi AGBO (milik Russo Brothers).
Adaptasi dari novel ilustrasi karya Simon Stalenhag ini menghadirkan dunia alternatif yang penuh dengan robot, teknologi adiktif, dan misteri besar yang menunggu untuk dipecahkan. Namun, apakah semua elemen ini benar-benar menyatu dengan baik?
Sebelum mengupas banyak hal dari film ini, kurang menarik rasanya bila kamu belum tahu inti kisah Film The Electric State. Lanjut kepoin ya!
Sekilas Tentang Film The Electric State
Cerita Film The Electric State berlatar di tahun 1990-an versi alternatif. Versi Alternatif tuh merupakan dunia yang ‘sama’ seperti dunia yang kita huni, tapi segala hal yang ada dan terjadi digambarkan nggak seperti dunia yang kita huni dan jalani. Intinya sih, itu dunia dalam bentuk versi yang lainnya. Ups.
Nah, dalam Film The Electric State, perang melawan robot telah berakhir dan teknologi VR menjadi candu bagi manusia. Pengguna headset virtual di dunia ini terjebak dalam realitas digital, sampai-sampai melupakan dunia nyata—mirip dengan kecanduan media sosial zaman sekarang, kan? Ini menarik banget deh!
Impresi Mendalam Setelah Nonton Film The Electric State
Aku selalu suka film-film sci-fi yang menawarkan dunia alternatif dengan konsep unik. Jadi, ketika The Electric State dirilis di Netflix, aku langsung penasaran. Apalagi, film ini diadaptasi dari novel ilustrasi karya Simon Stalenhag—terkenal dengan visualnya yang haunting dan atmosfernya yang suram.
Konsepnya sebenarnya menarik, karena film sci-fi yang bagus biasanya bisa menjadi cerminan dari dunia kita. Namun, sayangnya, Film The Electric State terasa seperti sayur lezat yang bagi sebagian orang kurang garam.
Gimana ya? Kalau dibandingkan dengan Film The Matrix atau bahkan Film Ready Player One, film ini sudah bagus tapi masih kurang menggigit. Seharusnya ada lebih banyak eksplorasi tentang dampak teknologi terhadap emosi dan kehidupan sosial manusia, tapi yang kulihat justru sekadar latar belakang cerita yang bagus tanpa bobot yang cukup.
Tokoh utamanya, Michelle (Millie Bobby Brown), menemukan’ kesadaran kakaknya yang hilang’ ternyata tersimpan dalam tubuh robot bernama Cosmo. Bersama seorang pemburu barang rongsokan bernama Keats (Chris Pratt), dia memulai perjalanan ke The Exclusion Zone untuk mencari jawaban. Nah, di sepanjang jalan, mereka harus berhadapan dengan Ethan Skate (Stanley Tucci), sosok mogul teknologi yang mengendalikan headset VR dan menyembunyikan rahasia besar di baliknya.
Di awal, aku cukup tertarik dengan petualangan Michelle dan Cosmo. Dunia yang diciptakan film ini memang visually stunning—nuansa retro-futuristic yang seakan-akan menggabungkan sci-fi dengan estetika tahun 90-an terasa fresh. Menurutku sudah bagus, tapi begitu film melewati pertengahan durasi, semuanya mulai terasa terlalu lama alias menjenuhkan.
Bagus kok, tapi beberapa adegan terasa bertele-tele, dan aku mulai kehilangan rasa urgensi dari petualangan mereka. Ditambah lagi, karakter Keats terasa terlalu familier—seperti versi daur ulang dari karakter Peter Quill dalam Film Guardians of the Galaxy. Aku sampai bertanya-tanya, apakah beberapa adegan ini sebenarnya outtake dari film Marvel?
Ya gimana ya? Aku termasuk orang yang suka Film Avengers: Endgame, dan tentu saja, itu membuat ekspektasiku pada film-film Russo Brothers selalu tinggi. Tapi setelah nonton Film The Gray Man dan sekarang Film The Electric State, aku mulai bertanya-tanya: Apakah mereka sedang mencari jati diri di luar Marvel?
Kutegaskan lagi ya, film ini punya konsep menarik dan bagus, tapi sayangnya, eksekusinya nggak sekuat yang aku harapkan. Russo Brothers tampaknya terlalu percaya diri dengan ide mereka, sampai lupa kalau penonton juga butuh kedalaman cerita dan karakter yang bisa benar-benar terkoneksi secara emosional.
Oke deh. Kalau kamu suka sci-fi dengan visual keren dan petualangan penuh aksi, Film The Electric State masih bisa menghibur. Namun, kalau kamu mencari cerita dengan eksplorasi tema yang lebih dalam, film ini mungkin bakal terasa kurang memuaskan.
Buat aku pribadi, film ini adalah pengalaman yang campur aduk—ada momen yang menarik, tapi juga ada bagian yang terasa kurang. Terlepas dari kekurangannya, film ini bagus dan aku suka!
Skor: 3,9/5
Baca Juga
-
Marissa Anita Sosialita yang Mulai Gila? Netflix Hadirkan A Normal Woman!
-
Jadi Ibu Itu Nggak Mudah! Rela Mati Demi Anak dalam Film Demi si Buah Hati
-
Review Film Best Wishes to All: Rahasia Keluarga yang Ngeri Banget!
-
Review Film Monsieur Hire: Gemuruh Cinta yang Terpendam di Seberang Jendela
-
Review Film Flat Girls: Potret Persahabatan, Rusun, dan Kelas Sosial
Artikel Terkait
-
Review Film The Electric State: Petualangan Emosional di Dunia Futuristik yang Suram
-
7 Pesona Syakir Daulay Ngaku Punya Utang Rp 5 Miliar di Usia 20 Tahun
-
Kang Ha Neul Jadi Streamer Pemburu Pembunuh Berantai! 3 Alasan Wajib Nonton 'Streaming'
-
Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit?
-
Sinopsis Kau & Dia, Diduga Film Karya Ifan Seventeen yang Diklaim Paling Laku di OTT Pemerintah
Ulasan
-
Menepi ke Sunyi: Tahura dan Seni Melambat di Tengah Dunia yang Bergegas
-
Mengintip Pesona Pantai Kempala, Destinasi Favorit Para Peziarah!
-
TWS 'Double Take': Hip Hop Jadul yang buat Playlistmu Nggak Boring
-
Ulasan Novel Parade Hantu Siang Bolong:Eksplorasi Budaya Jawa Lewat Ritual
-
Jadi Ibu Itu Nggak Mudah! Rela Mati Demi Anak dalam Film Demi si Buah Hati
Terkini
-
Marissa Anita Sosialita yang Mulai Gila? Netflix Hadirkan A Normal Woman!
-
Mulai Rp 1,4 Juta, Ini Daftar Harga Tiket Konser NCT Dream di Jakarta
-
4 Kombinasi Serum Salicylic Acid dan Niacinamide Ampuh Atasi Jerawat Mendem
-
Soroti Timnas U-23, Pelatih Legendaris Ini Singgung Usia Para Pemain
-
Latih China, Sebuah Jalan bagi Shin Tae-yong untuk Beri Pelajaran kepada Persepakbolaan Indonesia