Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sabit Dyuta
Novel No Longer Human (iflegma.com)

Hidup sering kali dipenuhi dengan aturan tak tertulis yang mengharuskan setiap orang untuk menyesuaikan diri. Masyarakat menuntut individu untuk bersikap sesuai norma, berbaur dengan lingkungan, dan menampilkan citra yang bisa diterima oleh orang lain.

Namun, bagi sebagian orang, menjadi "normal" terasa seperti tugas yang mustahil. Perasaan ini begitu kuat dalam "No Longer Human" karya Osamu Dazai, sebuah novel yang menggambarkan pergulatan batin seseorang yang merasa tidak pernah cocok dengan dunia di sekitarnya.

Sejak kecil, Yozo Oba sudah merasa berbeda. Ia tidak memahami bagaimana orang lain berinteraksi dengan mudah, sehingga ia memilih untuk berpura-pura.

Sosok badut menjadi tameng yang melindunginya dari ketidakpastian sosial. Selama bertahun-tahun, ia menjalani hidup dengan berpura-pura bahagia, menyembunyikan ketakutannya akan ketidakmampuan memahami manusia lain.

Namun, semakin lama topeng itu ia pakai, semakin hampa rasanya. Ia tidak hanya terasing dari dunia luar, tetapi juga dari dirinya sendiri.

Perasaan terasing ini membawanya pada perjalanan hidup yang penuh kehancuran. Berbagai cara ditempuh untuk menghindari kenyataan—alkohol, hubungan singkat yang tidak berarti, hingga narkoba.

Namun, semua itu hanya memperdalam jurang keterasingan yang ia rasakan. Di balik kehancurannya, ada satu pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apakah dirinya masih pantas dianggap manusia?

Tema keterasingan begitu kuat dalam kisah ini. Yozo bukan hanya kesulitan memahami manusia lain, tetapi juga tidak mampu melihat dirinya sebagai bagian dari mereka.

Hidupnya dipenuhi ketakutan bahwa setiap interaksi sosial hanyalah panggung sandiwara, di mana ia harus terus berakting agar tidak dicap aneh atau tidak normal.

Kenyataan ini terasa begitu dekat dengan banyak orang yang merasa harus berpura-pura agar diterima dalam lingkungan yang menuntut keseragaman.

Selain keterasingan, novel ini juga menggambarkan bagaimana tekanan sosial bisa menghancurkan individu yang tidak mampu menyesuaikan diri. Alih-alih mendapatkan pemahaman, mereka yang berbeda justru semakin didorong ke tepi, dipaksa menjalani hidup tanpa pegangan yang pasti.

Yozo adalah gambaran dari seseorang yang terus berusaha menemukan tempatnya, tetapi tidak pernah benar-benar diterima di mana pun.

Sebagai kesimpulan, "No Longer Human" bukan hanya kisah tragis tentang seseorang yang gagal menjalani hidupnya. Ini juga potret dari mereka yang merasa tidak cukup baik, mereka yang kelelahan karena harus terus berpura-pura, dan mereka yang bertanya-tanya apakah masih ada tempat bagi mereka di dunia ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sabit Dyuta