Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | aisyah khurin
Novel We Ate the Dark (goodreads.com)

"We Ate the Dark" merupakan karya debut Mallory Pearson yang mengusung genre misteri gotik khas wilayah Selatan dengan sentuhan supernatural yang menyeramkan.

Berlatar di kota kecil Loring, Carolina Utara, kisah ini dimulai dengan ditemukannya jasad Sofia Lyon, yang telah dinyatakan hilang selama lima tahun. Kejadian ini menjadi pemicu bagi Frankie, saudara kembar Sofia, untuk kembali ke kota kelahirannya bersama dua sahabat lama mereka, Poppy dan Cass.

Mereka bertekad mengungkap kebenaran di balik kematian Sofia, dibantu oleh Marya, seorang perempuan dengan kemampuan melihat makhluk tak kasat mata yang misterius.

Pearson dengan tajam menguliti tema kehilangan, duka, dan dinamika persahabatan perempuan. Hubungan antara Frankie, Poppy, dan Cass dikembangkan dengan emosi yang mendalam, menggambarkan bagaimana mereka menghadapi rasa kehilangan sekaligus mengungkap rahasia masa lalu.

Karakter Marya membawa warna tersendiri dalam cerita, menyoroti gagasan tentang keluarga yang terbentuk bukan hanya dari ikatan darah, tetapi juga dari pengalaman dan penderitaan yang dibagi bersama.

Salah satu daya tarik utama novel ini adalah gaya penulisan Pearson yang kaya dengan deskripsi atmosferik. Penggambaran Loring dan lingkungan hutan di sekitarnya begitu detail, menciptakan suasana yang nyaris magis.

Pembaca dapat merasakan setiap embusan angin lembap, mendengar suara-suara samar dari kegelapan, dan merasakan aura mencekam yang menyelimuti kota. Teknik naratif ini memperkuat unsur horor dan mistis dalam cerita, membawa pengalaman membaca yang mendalam.

Meski demikian, gaya bahasa yang dipenuhi metafora ini dinilai terlalu berbelit-belit seingga membuat alur cerita menjadi kurang fokus dan membuat pembaca harus lebih bersabar untuk menangkap esensi cerita.

Dari segi tempo, novel ini juga memiliki dinamika yang tidak sepenuhnya mulus. Bagian awal terasa lambat dengan penekanan pada pembangunan suasana dan karakter, sedangkan bagian akhir cenderung padat dengan berbagai pengungkapan yang datang bertubi-tubi.

Perubahan ritme ini membuat pembaca merasa bahwa resolusi kisah ini tidak cukup memuaskan, meninggalkan beberapa pertanyaan yang tidak sepenuhnya terjawab.

Elemen supernatural dalam novel ini, khususnya konsep Fissure, suatu dunia purgatorial misterius, menjadi elemen menarik sekaligus membingungkan. Beberapa pembaca menikmati kedalaman konsep ini, sementara yang lain merasa bahwa eksplorasinya kurang mendetail, sehingga menyisakan banyak pertanyaan yang menggantung. 

Namun novel ini berhasil menangkap kompleksitas kesedihan dan pencarian arti dalam kehilangan. Pengalaman membaca novel ini terasa lebih emosional dibanding sekadar menegangkan, terutama bagi mereka yang tertarik pada horor dengan lapisan psikologis yang mendalam.

Dari segi unsur horor, novel ini memiliki atmosfer horor yang cukup menyeramkan. Meski tidak terlalu horor, pembaca lebih merasa jika novel ini menjorok ke unsur yang lebih emosional.

Secara keseluruhan, "We Ate the Dark" adalah novel yang menawarkan pengalaman membaca yang unik, memadukan misteri, unsur gotik, dan eksplorasi psikologis dalam bingkai cerita supernatural.

Meski mungkin bukan novel horor yang penuh kejutan menyeramkan, ia tetap memiliki daya tarik tersendiri dalam menggambarkan sisi gelap dari kehilangan dan hubungan manusia.

Bagi mereka yang menikmati prosa indah dengan atmosfer yang kaya, serta tidak keberatan dengan alur yang bergerak lambat di awal, novel ini bisa menjadi bacaan yang menarik.

Namun, bagi yang lebih menginginkan kisah horor dengan ketegangan yang lebih tajam dan plot yang lebih langsung, mungkin novel ini bukan pilihan yang paling memuaskan.

Identitas Buku

Judul: We Ate the Dark

Penulis: Mallory Pearson

Penerbit: 47North

Tanggal Terbit: 1 Februari 2024

Tebal: 438 Halaman

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

aisyah khurin