Ada buku-buku yang lahir dari gagasan, ada pula yang lahir dari pengalaman batin. Namun ada jenis yang lebih langka: buku yang terasa seperti doa—dalam, senyap, namun menghunjam. Lucida Sidera karya Wiwien Wintarto adalah salah satunya. Ia bukan hanya sebuah novel, melainkan ziarah sunyi seorang manusia menuju makna hidup yang tak kasatmata.
Mengangkat kisah seorang pemuda bernama Abraham—yang akrab disapa Abe—Lucida Sidera membawa pembaca menapaki lorong-lorong batin yang jarang disinggahi oleh kebanyakan fiksi modern. Abe adalah anak muda cemerlang yang baru menyelesaikan pendidikan S2-nya di Amerika, putra dari keluarga mapan dengan segalanya yang tampak sempurna. Tapi justru dari balik kelimpahan itu, kisahnya bermula. Sebab hidup yang tampak penuh kadang menyimpan kekosongan yang paling sunyi.
Sejak awal, kita tidak diajak untuk berlari. Novel ini mengalir seperti sungai tenang yang mengikis pelan-pelan bebatuan dalam jiwa. Tidak ada letupan konflik besar atau kejutan plot dramatis. Tapi justru dalam kesenyapan narasinya, kita menemukan ruang untuk bernapas dan merenung. Wiwien menulis dengan irama yang lembut dan sabar, seperti seorang teman yang menemani kita duduk di sore hari sambil mendengarkan curahan hati.
Abe digambarkan sebagai sosok yang berjarak dari dirinya sendiri. Ia bergumul dengan kehampaan, kebingungan, bahkan dengan konsep Tuhan yang selama ini dikenalnya hanya lewat formalitas. Kepulangannya ke Indonesia justru membuka perjalanan batin yang lebih menantang daripada perjalanan akademiknya di luar negeri. Dan dalam keheningan itu, pembaca perlahan-lahan menyadari bahwa pencarian Abe bukan pencarian satu orang saja. Itu adalah cermin dari kegelisahan banyak jiwa modern—yang punya segalanya, tapi kehilangan sesuatu yang tak bisa dinamai.
Dalam proses pencariannya, Abe bertemu dengan dua tokoh penting yang menjadi lentera dalam kisahnya: Kirana dan Pak Wicaksono. Kirana adalah sosok perempuan yang sederhana namun memancarkan keteduhan. Ia bukan tokoh perempuan yang hadir sebagai hiasan cerita, melainkan sebagai pantulan dari kehidupan yang lebih jujur, lebih sadar. Lewat Kirana, pembaca diajak melihat bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada prestise, melainkan pada keterhubungan dengan nilai-nilai hakiki: kasih, keikhlasan, dan kedalaman rasa.
Pak Wicaksono hadir sebagai pembimbing, tapi bukan dalam arti tokoh yang serba tahu. Ia bukan guru yang memberi jawaban, melainkan sahabat jiwa yang mengajarkan cara bertanya dengan benar. Ia membuka percakapan-percakapan penting tentang iman, hidup, dan cinta. Dialog-dialog antara Abe dan Pak Wicaksono kadang terasa seperti percikan cahaya yang menyelinap diam-diam ke dalam celah hati pembaca—mengajak, bukan memaksa; menyentuh, bukan menggurui.
Salah satu kekuatan paling mencolok dari Lucida Sidera adalah bahasanya yang sarat dengan nuansa spiritual dan keheningan batin. Wiwien menulis seolah sedang berdoa. Kalimat-kalimatnya seperti hembusan napas yang ringan, tapi meninggalkan gema yang lama. Banyak bagian dalam novel ini yang layak dijadikan kutipan, bukan karena keindahannya semata, tapi karena kedalaman maknanya. Novel ini tidak meledak, melainkan menyala perlahan-lahan—seperti bintang.
Dan memang, Lucida Sidera sendiri berarti “bintang terang” dalam bahasa Latin. Sebuah metafora yang sangat kuat untuk menggambarkan perjalanan batin yang sunyi namun bermakna. Seperti Abe, kita semua sedang mencari bintang kita masing-masing—cahaya kecil di langit gelap kehidupan, yang meskipun redup, tak pernah padam.
Novel ini menawarkan sesuatu yang langka dalam fiksi modern: ruang untuk diam. Ia tidak mengajak pembaca larut dalam hiruk pikuk cerita, melainkan mengundang mereka masuk ke dalam keheningan batin. Ia memberi tempat bagi kegelisahan, tetapi juga harapan. Ia mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah dijawab, tetapi tetap memberi rasa tenteram bahwa pertanyaan itu sendiri sah untuk ada.
Membaca Lucida Sidera seperti duduk di ruang hening bersama seseorang yang memahami keletihan kita, yang tidak menuntut kita untuk menjelaskan apa-apa, tapi cukup menemani hingga kita menemukan jawaban kita sendiri. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, buku ini adalah pelukan hangat yang tak banyak bicara, tapi hadir sepenuhnya.
Akhirnya, Lucida Sidera bukan hanya sebuah cerita. Ia adalah teman seperjalanan. Sebuah napas panjang dalam hidup yang sering kita jalani dengan tergesa. Ia adalah pengingat bahwa kita boleh merasa kosong, boleh bertanya, boleh mencari. Dan bahwa dalam setiap langkah pencarian itu, selalu ada kemungkinan untuk menemukan bintang—sekecil apa pun sinarnya—yang memandu kita pulang.
Novel ini bukan untuk dibaca sekali lalu ditinggalkan. Ia adalah buku yang akan memanggil kembali, di waktu-waktu saat kita sedang kehilangan arah. Dan saat itulah, ia akan menyala dalam gelap. Menjadi lucida sidera—bintang terang—di langit jiwa yang kita kira telah gulita.
Baca Juga
-
Di Antara Luka dan Pulih: Lika-Liku Luka, Sebuah Perjalanan Menjadi Manusia
-
Menyoal Cinta Sepihak dalam Intoxicating Love: Romantis atau Problematis?
-
Resensi Novel Pacar Halal: Ketika Cinta Dipendam Demi Halal yang Dinanti
-
Asmara yang Bukan Dongeng: Ketika Ramayana Tak Lagi Sakral
-
Novel Dear Allah: Ketika Cinta Tak Harus Dimiliki, Tapi Harus Direlakan
Artikel Terkait
-
Raih Nobel Sastra 2024, Han Kang Siap Rilis Buku Baru 'Light and Thread'
-
Novel Petualangan ke Tiga Negara: Perjalanan Edukasi yang Sarat Pengetahuan
-
Novel The Drowning Woman: Saat Sebuah Pertolongan Menjadi Pengkhianatan
-
The Wild Robot Escapes, Kisah Epik Tentang Rumah, Cinta, dan Kebebasan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
Ulasan
-
Ulasan Novel The One and Only Ivan, Kisah Emosional Gorilla di Dalam Jeruji
-
Desa Wisata Pulesari, Tawarkan Suasana Asri dengan Banyak Kegiatan Menarik
-
Ulasan A Wind in the Door: Perjalanan Mikroskopis Memasuki Sel-Sel Tubuh
-
Review Film Muslihat: Ada Setan di Panti Asuhan
-
The Help: Potret Kefanatikan Ras dan Kelas Sosial di Era Tahun 1960-an
Terkini
-
Kenalan dengan 6 Judul Lain Garapan Mangaka Oshi no Ko, Seru Banget!
-
Anak Hukum tapi Stylish? 5 Look Simpel tapi Classy ala Ryu Hye Young
-
Serial Emily in Paris Season 5 Resmi Digarap, Mulai Syuting di Roma
-
4 Look Girly Simpel ala Punpun Sutatta, Cocok Buat Hangout Bareng Bestie
-
5 Rekomendasi Tontonan tentang Yesus, Sambut Libur Panjang Paskah 2025