Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Athar Farha
Poster Film Without Arrows (IMDb)

Ada film-film yang terasa seperti kilatan—hadir, menghibur, lalu hilang begitu saja. Namun, ada juga film yang diam-diam menancap, seperti panah yang meluncur lambat, tapi pasti, menembus bagian paling lembut dari hati kita. Itulah yang terasa setelah menonton Film Without Arrows. Judul yang ironis, karena meskipun katanya tanpa panah, film ini justru melesat tepat ke jantung.

Disutradarai Delwin Elk Bear Fiddler, Jonathan Olshefski, dan Elizabeth Day. Film ini merupakan dokumenter yang memerlukan waktu produksi selama 13 tahun (dimulai dari 2011 hingga 2024), dan itu gila banget sih.

Produksi film ini dikerjakan sama tim dokumenter independen yang dipimpin Olshefski, dengan dukungan kuat dari komunitas lokal serta pengaruhnya dari sosok Day yang berasal dari suku Ojibwe di Minnesota.

Yuk, simak betapa menariknya kisah ini!

Sekilas tentang Film Without Arrows

Yang menjadi tokoh sentral film ini adalah Delwin Elk Bear Fiddler. Dia seniman dan penjaga budaya dari suku Cheyenne River Sioux. 

Lewat lensa kamera yang sabar dan puitis, kita menyaksikan perjalanan Delwin ketika dia meninggalkan kehidupannya di Philadelphia dan memutuskan kembali ke tanah leluhur di South Dakota. 

Di sanalah cerita ini bermula, ketika dia kembali menyatu dengan keluarganya, dengan ibunya yang keras kepala tapi penuh cinta, dengan ayahnya yang pendiam, serta dengan saudara-saudaranya yang hidup dalam perlawanan sunyi terhadap dunia yang telah lama berusaha menghapus jati diri mereka.

Kisahnya memang mungkin nggak semenarik kebanyakan film dokumenter lainnya, tapi …. Sini deh kepoin kesan-kesannya dariku!

Impresi Selepas Nonton Film Without Arrows 

Yang jelas film ini nggak punya alur dramatis khas dokumenter arus utama. Nggak ada suara narator, nggak ada musik yang dipaksakan untuk membentuk emosi penonton. Yang ada hanyalah cuplikan demi cuplikan kehidupan, disusun seperti mozaik sama editor Ellen Knechel dan Leya Hale, sehingga membentuk montase yang mengalir bebas tapi juga terasa utuh. 

Apa yang membuatku terus terpaku sepanjang film, terkait kontras yang menyayat antara keinginan Delwin untuk menciptakan sesuatu melalui seni, tarian, dan musik yang diwarisi, dengan beban yang harus dia pikul sebagai bagian dari komunitas yang kisah hari memudar. 

Sepanjang film, kita menyaksikan tubuhnya menua, wajahnya mulai dipenuhi garis lelah, dan langkahnya yang dulu mantap lama-lama semakin berat, tapi api (semangat) di matanya nggak pernah padam. Dia terus bertahan, bahkan ketika harus mengambil pekerjaan kasar demi bertahan hidup, bahkan ketika satu demi satu anggota keluarganya mulai pergi, selamanya.

Film ini berhasil menyentuh lapisan terdalam dari pengalaman manusia, soal tanggung jawab, cinta yang nggak sempat terucap, janji-janji yang nggak sempat ditepati, dan keinginan untuk mewariskan sesuatu sebelum terlambat. Di tengah itu semua, Film Without Arrows menunjukkan bagaimana menjadi seniman dan ayah adalah dua hal yang terus tarik-menarik dalam hidup Delwin. Dan aku, sebagai penonton, ikut terhanyut dalam dilema itu.

Aku merasa seperti sedang membuka album foto seseorang yang nggak kukenal, tapi entah kenapa aku menangisi tiap halamannya. Nggak ada dramatisasi kemiskinan dan nggak ada eksotisme budaya. Yang ada hanyalah realita, yang kadang lambat, kadang menyakitkan, tapi selalu bermakna. 

Film Without Arrows pada akhirnya adalah tentang kita semua, misal tentang janji untuk menyempatkan waktu menelepon orang tua yang terus kita tunda, tentang mimpi masa muda yang perlahan jadi kenangan samar, dan tentang cinta yang bentuknya sederhana. 

Buat Sobat Yoursay yang mau nonton, film ini sudah tayang di platform streaming, JustWatch. Selamat nonton ya. 

Skor: 4/5

Athar Farha