Kalau ada satu hal yang dipelajari selepas nonton Series Dokumenter Spy High, jawabannya sederhana: Kadang orang paling menyebalkan pun tetap pantas mendapatkan perlindungan atas privasinya. Dan ya, ini terkait Blake Robbins, sosok utama dalam series dokumenter sepanjang empat episode yang tayang eksklusif di Prime Video sejak 8 April 2025.
Disutradarai Jody McVeigh-Schultz dengan menggandeng produser eksekutif, Mark Wahlberg, Series Spy High nggak datang cuma buat menceritakan kisah hukum atau teori konspirasi lho. Penasaran? Sini kepoin bareng!
Sekilas tentang Series Dokumenter Spy High
Ceritanya berawal dari satu kasus unik yang benar-benar terjadi pada tahun 2010 di pinggiran kota Philadelphia.
Blake Robbins, remaja SMA dengan gaya nyentrik dan begitu percaya diri, bersama orangtuanya menggugat sekolah mereka yang prestisius.
Tuduhannya? Sekolah telah memata-matai Blake dan siswa lainnya melalui webcam laptop yang dipinjamkan pihak sekolah. Bukan cuma tuduhan kosong—sekolah diketahui memang ada akses jarak jauh ke webcam laptop para siswa, yang bisa diaktifkan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Bukti utamanya? Sebuah tangkapan layar buram Blake di kamar tidurnya, sedang memegang benda kuning kecil yang sempat dicurigai sebagai narkoba. (Tapi tunggu dulu sampai kamu tahu benda itu sebenarnya apa. Aslinya yang dicurigai itu benda yang … kocak sih).
Dari sini, kasus berubah menjadi bola salju besar yang mengundang perhatian media, komentar publik, hingga perdebatan nasional soal batas antara keamanan, pengawasan, dan hak privasi pelajar.
Impresi Selepas Nonton Series Dokumenter Spy High
Aku awalnya sulit bersimpati pada Blake. Di depan kamera, dia tampil dengan jaket motif kotak, celana jeans robek, rantai emas mencolok, dan komentar-komentar yang bikin aku refleks mengernyit. Begitulah.
Series dokumenter ini menyajikan konflik utama menggunakan gaya dokumenter klasik—kombinasi wawancara “talking head”, arsip video sekolah, dan rekaman media masa lalu.
Namun, yang membuatnya terasa menyegarkan tuh soal adanya humor gelap dan nuansa satir yang mengingatkanku sama series fiksi berjudul: ‘American Vandal’ di Netflix.
Bahkan Blake sendiri tampak sadar betapa aneh situasinya. Dalam salah satu kutipan yang paling absurd dan jujur, dia bilang, “Di mana semua foto aku lagi masturbasi? Aku sering banget tuh waktu umur 15. Aku yakin kamu juga.”
Bikin keningku mengernyit, tapi juga bikin senyum-senyum. Sayangnya memang, di balik itu, ada perasaan nggak nyaman, karena bukan fiksi dan apa yang dikatakannya itu sungguhan.
Yang menariknya lagi, ‘Spy High’ nggak hanya fokus pada Blake dan keluarganya. Di episode ketiga, film ini menggeser sorotannya pada siswa-siswa kulit hitam seperti Keron Williams dan Jalil Hasan, yang juga menjadi target pengawasan sekolah. Sayangnya, mereka nggak mendapat porsi yang sebesar Blake. Biarpun gitu, justru dalam ketenangan dan kedewasaan mereka, terselip pesan kuat tentang bagaimana pengawasan dan perlakuan sekolah nggak pernah lepas dari bias rasial yang halus tapi menyakitkan.
‘Spy High’ ditutup dengan nada yang agak pahit. Dalam satu adegan yang lucu sekaligus agak ngeri, Blake sedang diwawancarai dan lupa informasi soal seorang senator. Tanpa pikir panjang, dia langsung bertanya ke ‘Siri’.
Dan aku terdiam sejenak. Ya, series ini memang menggambarkan sosok-sosok nyata yang lagi marah karena dulu pas sekolah bisa diintip melalui kamera webcam. Namun, eh, malah di zaman sekarang, toh orang-orang dengan sukarela membiarkan AI dan asisten digital mendengarkan hampir seluruh hidup kita. Ups.
Oke deh, Sobat Yoursay. Kalau kamu suka dokumenter true crime dengan sentuhan ironi macam ini, ‘Spy High’ bisa masuk list tontonmu. Dan kalau kamu nggak suka sama Blake Robbins di awal episode, ya … mungkin itu bagian dari ujianmu mengikuti series ini. Selamat nonton ya.
Skor: 4/5
Baca Juga
-
Review Princess Mononoke: Kisah Magis di Tengah Kutukan dan Perang Alam
-
Review Bullet Train Explosion: Ketegangan di Atas Rel yang Meledak-ledak
-
Ajisaka, The King and The Flower of Life: Animasi Lokal yang Layak Tayang Secara Global
-
Review Film Aisyah - Biarkan Kami Bersaudara: Persaudaraan Lintas Iman
-
Review Film The Wind Rises: Saat Langit Jadi Persembunyian Mimpi dan Luka
Artikel Terkait
-
Mahasiswa Amikom Yogyakarta Angkat Isu Budaya dan Kelompok Marginal di Karya Dokumenter Terbaru
-
Review Film Invention: Menemukan Kenangan yang Tertinggal
-
Jogja Film Pitch and Fund 2024 Digelar, Terpilih 4 Film Karya Sineas Lokal yang Menggugah Sanubari
-
John Cena dan Idris Elba Beraksi di Film Heads of State, Intip Trailernya
-
Another Simple Favor, Proyek Reuni Anna Kendrick-Black Lively Rilis 1 Mei
Ulasan
-
Review Marcel the Shell: Film Animasi yang Sarat Akan Pesan Kehidupan
-
Review Princess Mononoke: Kisah Magis di Tengah Kutukan dan Perang Alam
-
Chatbot vs Agen AI: Kenali Perbedaannya sebelum Memilih
-
Review Bullet Train Explosion: Ketegangan di Atas Rel yang Meledak-ledak
-
Kisah Inspiratif dari Out of My Mind, Melihat Dunia dari Perspektif Berbeda
Terkini
-
Sudirman Cup 2025: Empat Tim dari Dua Grup Pastikan Lolos ke Perempat Final
-
Debut Hollywood, Sooyoung SNSD Main di Film Spin-off John Wick: Ballerina
-
Simu Liu Siap Bintangi Film Sleeping Dogs, Proyek Ini Akhirnya Terwujud!
-
Tawa Pahit di TikTok: Kesenjangan Sosial dalam Bingkai Humor
-
Christopher Kevin Yuwono, Duta GenRe Kota Mojokerto 2025 Terpilih Siap Hadapi Tantangan Digital