Ada luka yang nggak bisa diceritakan tanpa merusak ketenangan itu sendiri. Nah, dalam Film Souleymane’s Story yang disutradarai Boris Lojkine, dengan naskah hasil kolaborasinya bersama Delphine Agut, film ini membawa kita menyelami kehidupan seorang imigran asal Guinea bernama Souleymane (diperankan Abou Sangaré).
Ditayangkan perdana di Cannes Film Festival 2024, film ini langsung mencuri perhatian lho. Bukan karena gimik atau melodrama berlebihan, tapi karena kejujuran dan kesederhanaannya yang begitu menusuk.
Luka semacam apa sih yang mendera Souleymane? Jika Sobat Yoursay penasaran, yuk kepoin bareng!
Sinopsis Film Souleymane’s Story
Di awal-awal scene, aku pertama kali menyaksikan Souleymane dalam kondisi yang nyaris nggak layak dipertontonkan. Ada memar di mata kiri, kaus putihnya kotor, dan tatapan kosong yang menahan sesuatu (mungkin trauma, takut, atau malah keduanya. Dia lagi duduk di ruang tunggu pengajuan suaka, dan tengah merapikan dirinya.
Sayangnya, sistem yang akan dirinya hadapi di sana, sebenarnya nggak peduli pada niat baik atau ketulusan hati. Orang-orang di sana hanya peduli pada kisah-kisah traumatis, lengkap dengan detail penderitaan yang menjual.
Dalam flashback yang mengalir perlahan, scene memperlihatkan rutinitas Souleymane sebagai pengantar makanan bersepeda. Namun, karena dia nggak punya dokumen resmi, dia harus menyewa akun pengantaran milik Emmanuel (diperankan Emmanuel Yovanie), yang justru mengambil keuntungan dari banyaknya imigran seperti Souleymane.
Souleymane sendirian tinggal di penampungan, hidup dari sisa-sisa pendapatan, dan bergantung pada Barry (Alpha Oumar Sow) sosok pria yang mengajarinya skenario suaka yang dibuat-buat (didramatisasi). Misalnya, Souleymane harus merangkai kisah perihal dirinya dulu jadi aktivis politik di Guinea, yang ditangkap dan disiksa karena menentang Presiden Alpha Condé.
Masalahnya, Souleymane bukan pembohong. Dan narasi dramatisasi itu bukanlah cerita yang mudah dia hafalkan.
Souleymane yang polos dan jujur, dipaksa menghafal cerita penuh darah dan air mata agar bisa diterima. Karena jika dia hanya berkata, “Aku ingin hidup damai dan bekerja keras,” sistem nggak akan peduli. Jelas, yang dibutuhkan itu luka. Jadi dia harus bikin alasan dramatis yang bisa dilaporkan dan dicatat.
Dalam upayanya menyesuaikan diri, Souleymane malah dihadapkan pada lebih banyak penolakan dan diremehkan.
“Kalian orang Afrika, selalu saja bikin kacau,” sindir Emmanuel. Bahkan Barry yang seharusnya membantu, memperlakukannya dengan sinis dan kasar.
Jadi, bagaimana dengan nasib Souleymane? Tontonlah tanpa banyak dicekoki spoiler!
Review Film Souleymane’s Story
Salah satu hal paling menyakitkan dari film ini adalah bagaimana sistem suaka justru mengharuskan seseorang untuk ‘menjual kisah penderitaannya’.
Sinematografinya, dengan palet biru yang dingin dan shot medium yang membuat Souleymane tampak kecil di tengah dunia yang terus bergerak tanpa peduli. Sangat simbolis deh.
Meski didominasi suasana muram, film ini nggak sepenuhnya gelap. Ada momen-momen kehangatan yang menyelip masuk, termasuk lelucon ringan di antara sesama pengantar makanan, kepedulian dari teman di penampungan, dan tatapan tulus yang jarang-jarang Souleymane dapatkan.
Di sinilah akting Abou Sangaré benar-benar mantal. Dia nggak pernah berteriak atau meledak-ledak, tapi melalui gerak mata dan bahasa tubuhnya, aku bisa merasakan gelombang emosi yang dipendam. Nggak heran sang aktor memenangkan penghargaan Best Performance di Un Certain Regard, Cannes Film Festival 2024.
Memang, aku sudah bisa menebak ke mana film ini akan bermuara. Namun, bahkan ketika akhir cerita mulai tampak di depan mata, aku tetap nggak bisa menahan emosi saat sampai ke adegan klimaks di ruang wawancara suaka.
Jujur deh, Film Souleymane’s Story bukan tontonan yang mudah. Bukan hanya karena kualitas sinematiknya yang mumpuni, tapi karena secara nggak langsung, film ini kayak memaksa diriku untuk melihat kembali apa arti menjadi manusia di tengah sistem yang buruk.
Sobat Yoursay masih penasaran nonton? Tonton saja sendiri. Selamat nonton, ya!
Skor: 4/5
Baca Juga
-
CERPEN: Hari Ketika Bunga Menjadi Ibu yang Sesungguhnya
-
Ritual Bulan Merah di Bukit Wadasgeni
-
Review Film Avatar Fire and Ash: Visual Memukau, tetapi Cerita Terasa Mengulang
-
Ulasan Qorin 2: Fedi Nuril Keluar Zona Nyaman, tetapi Naskah Terasa Repetitif
-
Review Film Wake Up Dead Man - A Knives Out Mystery: Deduksi di Antara Iman
Artikel Terkait
-
Dibintangi Ice Cube, Film War of the Worlds Hanya Kantongi Rating 0 Persen
-
Salip World War Z, F1 Kini Jadi Film Terlaris Sepanjang Karier Brad Pitt
-
Masih Tayang di Bioskop, Kupas Soft Sci-fi Film Sore: Istri dari Masa Depan
-
Tayang 2026, DUNE: Part Three Resmi Diproduksi di Hungaria
-
Sinopsis My Daughter is a Zombie, Film Korea Tercepat Raih 1 Juta Penonton
Ulasan
-
Review Film Troll 2: Sekuel Monster Norwegia yang Epik!
-
Review The Great Flood: Kisah Kim Da Mi Selamatkan Anak saat Banjir Besar
-
Hada Cable Car Taif: Menyusuri Pegunungan Al-Hada dari Ketinggian
-
Ulasan Novel Janji, PerjalananTiga Santri Menemukan Ketulusan Hati Manusia
-
Review Film Avatar Fire and Ash: Visual Memukau, tetapi Cerita Terasa Mengulang
Terkini
-
Tanpa Kembang Api, Swara Prambanan 2025 Rayakan Tahun Baru dengan Empati
-
4 Serum Cica Rp40 Ribuan, Solusi Atasi Jerawat dan Kulit Kemerahan
-
Capek setelah Interaksi Sosial: Tanda Social Fatigue yang Sering Diabaikan
-
4 Zodiak yang Masuk Era Antagonis, Mulai Menjalani Hidup untuk Diri Sendiri
-
Mangrove Sketch and Write, Merawat Pesisir Baros Lewat Aksi dan Karya