Bayangin deh, film legendaris: Pink Floyd at Pompeii yang sudah berusia lebih dari 50 tahun akhirnya dapat sentuhan magis restorasi. Yes, perbaikan visual di 2025. Film ini dipulihkan ke kualitas 4K dengan audio remix yang bikin setiap dentuman gitar dan denting drum makin hidup berkat Dolby Atmos. Dan tayang global sejak April 2025 dengan judul: Pink Floyd at Pompeii - MCMLXXII
Terkadang, musik memang bisa jadi lebih dari sekadar suara. Bisa jadi pengalaman yang membawa kita ke tempat yang jauh, ke zaman yang berbeda, ke emosi yang belum pernah kita rasakan sebelumnya. Nah, film ini bisa dikategorikan sebagai salah satu momen langka, di mana musik nggak cuma jadi hiburan, tapi juga penghubung antara kita dan sebuah sejarah yang lampau, penuh misteri, dan kadang terasa begitu dekat.
Yuk, kita bahas lebih dalam lagi!
Film Pink Floyd at Pompeii direkam pertama kali tahun 1971 di Pompeii, Italia, dan dirilis pada 1972.
Pink Floyd nggak cuma band lho. Mereka ibarat panutan kreatif yang menjelajah tanpa batas. Di tengah masa transisi besar, setelah meninggalkan sosok Syd Barrett yang eksentrik, Band Pink Floyd mulai menemukan suara mereka sendiri, yang lebih gelap, lebih luas, dan lebih penuh gejolak.
Ya, mereka bukan lagi band yang cuma mengisi ruang dengan musik, tapi mereka mulai mengisi ruang-ruang kosong dalam jiwa setiap pendengar yang siap mendengarkan.
Impresi Selepas Nonton Film Pink Floyd at Pompeii - MCMLXXII
Jadi dulu, Adrian Maben, sang sutradara, datang dengan ide yang mungkin terdengar aneh, yakni merekam Pink Floyd bermain di sebuah tempat yang hampir nggak terjamah manusia, yakni amphiteater kuno di Pompeii. Nggak ada penonton maupun sorakan. Hanya ada angin yang berdesir lembut melalui reruntuhan, dan suara musik yang mengalir nggak terbendung, seolah-olah datang dari zaman lain.
Maben, yang terpesona dengan kesunyian Pompeii, menggambarkan tempat itu sebagai semacam wadah musik Pink Floyd. Ruang di mana suara bisa menggema tanpa gangguan, di mana musik bisa berbicara lebih dalam dari kata-kata. Ditemani cuaca yang kadang tenang, kadang menggila, Pink Floyd hadir di tengah kehancuran masa lalu, dan melodi mereka mengalun di antara puing-puing yang sudah berusia ribuan tahun.
Dan aku, penonton di masa kini, setelah merasakan versi restorasi, bisa merasakan setiap dentuman, setiap nada yang mengalir. Rasanya seperti sedang mendengarkan sebuah alunan yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum lahir, dan akan tetap ada setelah diriku tiada. Hiks!
Namun, di balik segala keajaiban itu, ada sisi lain yang lebih manusiawi. Di sela-sela lagu-lagu panjang dan jam session yang seolah-olah nggak berujung, aku melihat sisi lain dari Pink Floyd, yaitu perihal para musisi yang nggak terikat pada konvensi.
Ada momen-momen absurd yang kadang terasa seperti bercanda, seperti saat mereka duduk di kantin, makan, dan berbicara dengan penuh keengganan, seakan-akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dengan setengah hati. Dan di situlah keindahannya. Mereka tampak seolah-olah nggak peduli dengan apa yang dunia pikirkan tentang mereka. Mereka hanya ingin berbuat apa yang mereka anggap benar, dan itu adalah membuat musik yang datang dari hati terdalam.
Menonton ‘Pink Floyd at Pompeii’ nggak cuma tentang menikmati musik. Bisa dibilang, ini tuh perjalanan batin yang akan membuat Sobat Yoursay bertanya-tanya, “Apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini?”
Berhubung musik merupakan bahasa yang lebih kuat dari kata-kata, film ini jadi bukti nyata dari dokumentasi sejarah musik yang nggak hanya mengabadikan band legendaris, tapi juga momen saat mereka mengeksplorasi makna hidup, ruang, dan waktu.
Tentu saja, ini bukan film untuk semua orang. Jika kamu mencari hiburan cepat dan mudah, film ini mungkin terasa lambat. Namun, jika Sobat Yoursay siap untuk meresapi setiap detik, nada, dan visual yang ada, film ini jelas karya seni yang akan mengubah cara kamu memandang musik dan kehidupan itu sendiri.
Skor: 4/5
Baca Juga
-
Review Film The Friend: Tangis dalam Diam Bersama Anjing
-
Review Film The Devil's Bath: Teror Mengerikan Tanpa Hantu
-
Garuda di Dadaku: Dari Film Realistis ke Animasi Fantastis, Ini Bocoran Serunya!
-
Review Den of Thieves: Cerdas, Brutal, dan Nggak Cuma Film Tembak-Tembakan
-
Review Penjagal Iblis - Dosa Turunan: Yang Terlahir Untuk Membasmi Iblis
Artikel Terkait
-
Sinopsis Film India 'Raid 2', Dibintangi Ajay Devgan dan Riteish Deshmukh
-
Review Film The Friend: Tangis dalam Diam Bersama Anjing
-
First look Film Rangga & Cinta Diungkap, Reborn AADC Siap Tayang Tahun Ini
-
Review Film The Devil's Bath: Teror Mengerikan Tanpa Hantu
-
5 Film Jo Jung Suk yang Wajib Ditonton, Terbaru My Daughter is a Zombie
Ulasan
-
NMIXX Ajak Temukan Jati Diri di Perjalanan Hidup Melalui Lagu Know About Me
-
Review Film The Friend: Tangis dalam Diam Bersama Anjing
-
Desa Wisata Brayut, Tempat untuk Mempelajari Ragam Kebudayaan khas Jogja
-
Dari Manis Jadi Pahit: Esensi Lagu TXT 'Good Boy Gone Bad' dan Trauma Cinta
-
Review Film The Devil's Bath: Teror Mengerikan Tanpa Hantu
Terkini
-
Resmi Debut, no na Tembakkan Panah Asmara di Lagu Bertajuk 'Shoot'
-
Sinopsis Film India 'Raid 2', Dibintangi Ajay Devgan dan Riteish Deshmukh
-
4 Drama China Garapan Sutradara Lin Jian Long, Ada Legend of Yunxi
-
4 Inspirasi Daily Outfit ala Seeun STAYC, Gaya Simpel tapi Eye-Catching!
-
Edgy Abis! 4 OOTD Street Style ala Yeonjun TXT yang Keren Untuk Disontek