Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film The Home (IMDb)

Nonton film horor yang terasa kayak parodi. Itulah yang aku rasakan saat nonton Film The Home garapan James DeMonaco, sutradara yang tenar dalam waralaba ‘The Purge’. Kali ini, dia mencoba membangun ketegangan di sebuah panti jompo. Sayangnya, semua potensi ngeri berubah jadi lelucon nggak lucu dan kacau balau sampai nggak tahu arah.

Film ini dibintangi Pete Davidson sebagai Max, pria muda bermasalah yang mendapat hukuman pelayanan masyarakat. Lokasi tugasnya? Rumah lansia bernama Green Meadows yang sekilas terlihat damai, tapi tentu saja, ini film horor, jadi kita tahu itu hanya kamuflase.

Masih penasaran dengan kisahnya? Sini deh kepoin bareng!

Sinopsis Film The Home

Max, dengan tubuh kurus penuh tato bertuliskan “Thicker than blood”, tampak menyimpan banyak luka masa lalu. 

Dalam kilas balik, scene memperlihatkan Mac tengah merayakan keberhasilan adik angkatnya, Luke (Matthew Miniero), yang diterima kuliah.

Namun perayaan itu berubah duka ketika Luke kemudian bunuh diri. Trauma itu membuntuti Max sampai dewasa, membuatnya sulit menata hidup. Ketika Mac akhirnya mengabdi di Green Meadows, Max mulai mendengar jeritan aneh dan melihat lansia-lansia yang terlalu sehat dari usianya.

Keanehan makin menjadi ketika Max melanggar perintah dan masuk ke lantai empat; tempat tersembunyinya para lansia. Ekspresi para lansia terlihat beku, mata kosong dengan mulut menganga, dan dikelilingi televisi yang memutar dokumenter tentang pengeboran minyak. Apakah itu tempat perawatan? Atau eksperimen terselubung? 

Hmmm … menarik memang kalau sebatas sekilas kisah, sayangnya ….

Review Film The Home

Sejujurnya, The Home bisa saja jadi horor kamp yang menyenangkan, atau bahkan alegori sosial yang menggelitik. Akan tetapi, James DeMonaco malah menyajikan film ini seperti lukisan surealis yang dibanjiri warna merah ceri dan biru elektrik, lalu ditempeli tempelan pesan moral secara kasar. Estetikanya mencoba meniru Film The Shining dan Film Eyes Wide Shut, tapi hasil akhirnya malah seperti nonton episode American Horror Story yang ditulis ngasal. 

Pete Davidson sendiri terasa salah tempat. Karakternya, Max, seharusnya dipenuhi amarah, trauma, dan mungkin juga soal memulihkan diri sendiri. Eh, tapi, yang aku lihat di layar sebatas ekspresi lempeng tapi ganjil. Bahkan dalam momen emosional, seperti saat ayah tirinya memohon agar Max berubah, ekspresinya tetap datar dan sinis. 

Dari segi horor, film ini terlalu bergantung pada jumpscare anak TK. Ups. 

Ya, suara keras yang datang sebelum momen mengejutkannya tiba, lalu efek suara yang membuat telinga berdenging. Ketika Max menjumpai sosok nenek dengan wajah meleleh di situs spam, atau menemukan tubuh lansia yang literally “berantakan”, aku bukannya merinding, malah tertawa geli.

Padahal, di balik itu semua, ada tajuk utama yang cukup menarik, yakni ketimpangan generasi, dampak lingkungan, dan rasa putus asa generasi muda terhadap masa depan. Lansia-lansia di Green Meadows hidup santai, berenang dan berdansa, sementara Max melihat masa depannya sebagai kehampaan. Sayangnya, alih-alih menggalinya lebih dalam, film ini malah fokus ke kekerasan yang banal dan twist cerita yang jujur saja sangat bodoh. 

Oke deh. Film The Home bukan hanya gagal jadi horor yang menakutkan, tapi juga nggak mampu jadi satir film yang tajam. Buatku, ini salah satu film horor paling mengecewakan tahun ini. Jujur, aku sangat kecewa dan mungkin ogah nonton ulang di waktu dekat. Huft!

Buat yang masih mau nonton, selamat nonton!

Skor: 0,9/5

Athar Farha