Ada film yang selesai gitu doang saat kredit penutup muncul, sedangkan Film Drowning Dry justru memancing penonton buat nonton ulang. Kok bisa? Soalnya film ini bukan tentang apa yang terjadi sepanjang durasi, tapi tentang apa yang terus terulang sampai aku pun harus nonton ulang berkali-kali.
Disutradarai Laurynas Bareiša, sineas asal Lithuania yang juga bertindak sebagai penulis dan sinematografer. Nah, Film Drowning Dry (Sess, judul aslinya) merupakan pengalaman sinematik yang hening, lambat, penuh pengamatan, tapi karena itulah film ini berhasil menancapkan luka paling dalam sampai-sampai wajib ditonton ulang.
Yakin nggak kepo sama filmnya? Yuk, kupas bareng!
Sinopsis Film Drowning Dry
Tayang perdana pada 10 Agustus 2024 di sesi Concorso Internazionale dari 77thLocarno Film Festival, Swiss. Pusat ceritanya sih ada pada dua perempuan; Ernesta (diperankan Gelmin Glemait) dan adiknya, Just (Agn Kaktait).
Mereka terlihat dekat. Tertawa. Menari bersama. Namun, ada sesuatu yang nggak kasat mata di antara mereka. Retakan kecil dalam hubungan saudari ini hanya terlihat lewat hal-hal remeh. Yap, dari cara mereka memandang satu sama lain, perbedaan gaya hidup, bahkan nada suara yang nyaris nggak terdengar sarkastis.
Ernesta menikah dengan Lukas (Paulius Markeviius), sang petarung MMA yang tampak gagah, tapi sebenarnya menyimpan tekanan hidup yang berat. Mereka berjuang untuk mendapatkan pinjaman rumah.
Sementara Just hidup nyaman dengan Tomas (Giedrius Kiela), suami yang lebih ambisius dan tampaknya lebih ‘berhasil’. Namun, di balik keberhasilan itu, ada hal-hal yang cukup berisiko terkait Tomas yang suka ngebut, suka mendominasi, bahkan pernah menantang Lukas sparring, hanya untuk mundur di detik terakhir.
Anak-anak mereka? Kristupas dan Urt suka main bareng. Misalnya, menghancurkan patung tanah liat sebagai bentuk permainan aneh yang tanpa sadar menggambarkan dunia orang dewasa di sekeliling mereka, yang rusak perlahan tanpa alasan jelas.
Drama keluarga yang terkesan sepele memang, tapi ….
Review Film Drowning Dry
Sekitar ±35 menit durasi bergulir, barulah semuanya berubah. Bukan secara eksplosif, tapi dalam keheningan yang membingungkan. Ya, gimana ya, ini film memang harus ditonton ulang buat lebih jelas lagi menangkap setiap detail yang disuguhkan.
Bayangkan deh, ada scene diulang, tapi nggak benar-benar sama. Iya, adegan yang sudah ada, diulang lagi, tapi nggak persis gitu. Misalnya, saat dua saudari menari bersama di ruang keluarga. Nah, muncul kembali scene itu, dengan framing kamera yang sama persis, tapi latar musiknya berbeda.
Aku sampai bertanya-tanya; Apakah itu ingatan Ernesta? Ataukah ingatan versi Just? Atau mungkinkah setiap karakter yang lagi kutonton, berada dalam sebuah dunia paralel? Hmmm … agak lebay sih pertanyaan terakhirku.
Cuma, ya, gimana? Pengulangan semacam itu nggak hanya terjadi sekali. Film ini terus berputar kembali ke titik-titik penting, tapi tiap kali scene diulang, ada sedikit perubahan lho; entah pada gerakan, ekspresi, bahkan reaksi para karakter. Beberapa perubahan kecilnya, bahkan nyaris nggak terasa, dan itu bikin diriku harus nonton ulang karena diriku pun mempertanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di titik inilah, menurutku, ‘Drowning Dry’ benar-benar jadi lebih dari sebatas film. Dan entah bagaimana, aku merasa sangat terhubung.
Film Drowning Dry memang nggak sesumbar soal visual, tapi dari yang ditangkap rekam kamera, aku merasa frame-nya ibarat menjauhkan pandanganku dari para karakter secara teknis. Iya, jelas banget kok. Mulai dari kamera yang statis dan jarak fisik dengan karakter. Nah, karena itu, aku merasa seperti menyelinap masuk ke kehidupan mereka. Ibaratnya, aku jadi pengamat yang melihat manusia-manusia runtuh perlahan tanpa tahu bagaimana cara memperbaikinya, selain cuma nonton berulang-ulang.
Oke deh. Pokoknya, ini adalah salah satu film terbaik tahun ini buatku. Film yang nggak hanya ditonton, tapi harus dirasakan. Selamat nonton ya!
Baca Juga
-
Review Film The Home: Horor Lansia yang Kacau Balau
-
Review Film Life After: Hak Hidup dan Mati yang Jadi Pertanyaan Etis
-
Review Jujur Series Smoke, Sudah Tayang di Apple TV
-
Menyusuri Misteri Film The Banished: Apa yang Dicari, Nggak Pernah Kembali
-
Review Film Cloud: Dunia Digital yang Menelan Kemanusiaan
Artikel Terkait
-
Review Film The Naked Gun: Komedi Slapstick yang Bikin Ngakak dan Nostalgia
-
Review Film Mickey 17, Angkat Isu Sosial yang Keras Dibalut Humor Gelap
-
Review Film The Monkey, Perpaduan Genre Komedi dan Horor yang Unik
-
Review Film Cloud: Dunia Digital yang Menelan Kemanusiaan
-
Bukan Sekadar Film, Anies Baswedan Sebut 'Sore' Mahakarya yang Mengaduk Emosi dan Logika
Ulasan
-
Review 28 Days Later, Film Cillian Murphy yang Mendobrak Genre Horor-Zombi
-
Review Film The Home: Horor Lansia yang Kacau Balau
-
Ulasan Buku If You Opened the Door: Menguak Batasan Dunia Imaji dan Realita
-
Belajar Mengelola Diri Lewat Buku Hidup itu Murah yang Mahal Gengsi Kita
-
Bukan Sekadar Cinta Monyet, Ini Makna Lagu Naniwa Danshi 'Ubu Love'
Terkini
-
Soobin TXT Ajak Kita Berkendara Santai di Lagu Solo Terbaru, Sunday Driver
-
Jorge Lorenzo Bongkar Kelemahan Marc Marquez: Kadang Dia Terlalu Ambisius
-
5 Rekomendasi Tempered Glass yang Siap Lindungi Layar HP Kamu
-
Bukan Hanya Filosofi Bermain, 3 Warisan STY di Timnas Indonesia U-23 Kini Mulai Memudar
-
5 Inspirasi Outfit Lee Sang Yi di Drama Good Boy, Bikin Jatuh Hati!