Netflix kembali menghadirkan serial drama kriminal yang menggugah dengan judul Public Disorder. Berasal dari Italia, serial ini mencoba menyelami kehidupan para polisi anti-huru-hara yang selama ini sering digambarkan hitam-putih di layar kaca. Disutradarai Michele Alhaique, serial ini menjadi adaptasi dari film ACAB – All Cops Are Bastards (2012) yang sempat menuai kontroversi. Namun, Public Disorder tidak hanya menyoroti aksi di jalanan, tetapi juga pergulatan batin para penegak hukum yang berdiri di garis tipis antara keadilan dan kekerasan.
Sinopsis
Public Disorder bercerita tentang unit kepolisian anti-huru-hara di Roma yang tengah menghadapi tekanan besar setelah sebuah demonstrasi berakhir ricuh dan menewaskan seorang demonstran. Pemimpin lama mereka terluka parah, memaksa Michele Nobili (Adriano Giannini) mengambil alih kepemimpinan unit. Michele dihadapkan pada berbagai tantangan: mulai dari kepercayaan anggota yang terpecah, metode brutal salah satu anggota senior Mazinga Valenti (Marco Giallini), hingga sorotan media dan publik yang memandang polisi sebagai musuh.
Cerita semakin kompleks ketika Michele harus menyelidiki dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan timnya terhadap demonstran. Di satu sisi, ia ingin melindungi rekan-rekannya sebagai sebuah keluarga; di sisi lain, ia mulai menyadari konsekuensi moral dan hukum dari tindakannya. Serial ini tidak hanya menyajikan adegan kerusuhan yang intens, tetapi juga menyoroti kehidupan pribadi para polisi yang penuh konflik, dilema, dan rasa bersalah.
Review
Sebagai sebuah drama kriminal, Public Disorder berhasil membangun atmosfer yang suram dan menegangkan. Adegan-adegan demonstrasi terasa hidup, dengan sinematografi yang mendekatkan penonton pada kekacauan di jalanan. Kamera handheld dan warna kelabu mendominasi, memberi kesan dokumenter sekaligus mendekatkan emosi. Ini menjadi salah satu kekuatan utama serial ini, yaitu menghadirkan realisme tanpa glorifikasi.
Namun, di balik kekuatan visualnya, cerita Public Disorder terasa kurang fokus. Serial ini mencoba mengangkat banyak isu sekaligus: kritik terhadap institusi kepolisian, konflik internal tim, kehidupan pribadi yang berantakan, hingga hubungan keluarga. Akibatnya, beberapa subplot terasa tergantung dan tidak sepenuhnya berkembang. Misalnya, kisah masa lalu Michele dan hubungannya dengan anaknya terasa hanya disentuh di permukaan tanpa penyelesaian emosional yang memuaskan.
Meski begitu, akting para pemain patut diapresiasi. Adriano Giannini sebagai Michele Nobili mampu memerankan karakter yang lelah, rapuh, namun tetap berusaha teguh pada prinsipnya. Marco Giallini tampil menonjol sebagai Mazinga, polisi senior yang keras kepala tetapi diam-diam menyimpan luka batin. Chemistry keduanya membawa dinamika menarik antara kepemimpinan dan pemberontakan dalam tim.
Salah satu kritik yang muncul adalah penggambaran perempuan dalam serial ini yang terasa minim. Hampir semua karakter utama adalah laki-laki, dan karakter perempuan hanya hadir sebagai pelengkap atau latar cerita. Padahal, kehadiran perspektif gender bisa menambah kedalaman isu yang diangkat. Selain itu, tempo cerita di beberapa episode terasa lambat, dengan dialog panjang yang kadang tidak efektif mendorong alur.
Terlepas dari kekurangannya, Public Disorder menawarkan pengalaman menonton yang reflektif. Serial ini bukan sekadar drama polisi, tapi mengajak penonton merenungkan batas moral, loyalitas, dan konsekuensi dari kekerasan yang dilegitimasi. Ini menjadi pengingat bahwa di balik tameng dan pentungan, polisi juga manusia—terjebak dalam sistem yang menuntut mereka menjadi pelindung sekaligus pelaku kekerasan.
Bagi penonton yang mencari tontonan penuh aksi dengan kritik sosial yang tajam, Public Disorder layak masuk daftar. Namun, bagi mereka yang mengharapkan narasi yang terstruktur rapi dengan resolusi jelas, mungkin serial ini akan terasa melelahkan. Pada akhirnya, Public Disorder adalah potret kelam institusi penegak hukum yang jarang ditampilkan sejujur ini, meski masih menyisakan ruang untuk digali lebih dalam.
Rating: 9,1/10
Baca Juga
-
Penggusuran Digital: Saat Kelompok Rentan Hilang dari Narasi Publik
-
Penjarahan yang Membunuh Pesan: Apa Kabar Demokrasi Jalanan?
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
Artikel Terkait
-
2 Rekan Artis Jonathan Frizzy Ditangkap di Makassar
-
Rilis Teaser Perdana, Squid Game 3 Tawarkan Permainan Maut Lebih Seram
-
4 Film Action dengan Pemeran Utama Perempuan yang Ikonik, Wajib Ditonton!
-
Media Italia Samakan Jay Idzes dengan Pemain Prancis Berbandrol Rp173 M
-
Polisi Ungkap Peran Jonathan Frizzy Selundupkan Catridge Rokok Elektrik Berisi Obat Keras
Ulasan
-
Review Film One Battle After Another: Pusaran Dendam yang Nggak Pernah Padam
-
Review Film Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung: Sekuel Kocak yang Bikin Penonton Ngakak!
-
Ulasan Novel Mangsa (Prey), Ancaman Kematian di Belantara Montana
-
Hari Tani Nasional: Ini Sejarah dan Makna yang Perlu Kamu Tahu
-
Review Film The Long Walk: Alegori Negara yang Menumbalkan Rakyat
Terkini
-
Tasya Farasya Gugat Cerai: Suami 'Gadaikan' Sertifikat Mertua Miliaran Rupiah?
-
Glory Lamria: Diaspora Indonesia Berprestasi yang Viral Sambut Prabowo
-
Dita Karang Eks SECRET NUMBER Buka Akun X, Netizen Langsung Ramai!
-
Bryan Andrews dan Brad Winderbaum Ungkap Cerita di Balik Marvel Zombies
-
Jay Idzes Absen saat Sassuolo Dihajar Como, Bukti Efektivitas sang Pemain?